Friday 18 December 2015

Rigor Mortis: In Search of Temporary Suicide


Halo!

Penny ante saya sepertinya tertelan kemalasan (lagi-lagi). Nggak kayak blognya bini yang rajin update secara konsisten. Saya mah apa atuh :))

Disclaimer: yang saya tulis dibawah hanyalah hipotesa saya belaka. Tidak didasari penelitian kualitatif maupun kuantitatif, hanya sebatas individual knowledge yang sarat kesalahan. Boleh setuju boleh tidak.

Akhir-akhir ini saya sering sekali berpikir tentang bunuh diri. Bukannya saya ingin mengakhiri hidup saya- tapi mikir faktor apa saja sih yang bisa bikin kita bunuh diri. Sempet skimming berita tentang gimana anak ABG gantung diri setelah ngga sengaja ngerusak tablet orangtuanya, terus ada juga yang bunuh diri gara-gara permasalahan hati (kalau minjem bahasa temen saya, sakit qolbu), ada juga yang disebabkan oleh tekanan (dibully, workload di kantor yang menggila, atau semacam itulah), dan yang paling banyak adalah faktor masalah kejiwaan. Faktornya banyak juga. Tapi garis merah yang bisa ditarik dari semua motif bunuh diri adalah: kecewa pada diri sendiri (atau keadaan), dan tidak mampu (atau tidak mau) melakukan sesuatu untuk merubahnya. Ya udah, elo gue end.

Faktor-faktor pemicu bunuh diri

Konseptualisasi bunuh diri memang punya tempat spesial di hati saya. Sampai-sampai beberapa proyek kuliah saat saya masih mengincar gelar MFA di sekolah seni (yang, ehem, ngga selesai) kebanyakan bertemakan mortem sibi conscivit. Undergrad thesis saya juga membahas bunuh diri- judulnya The Significance of Freeter Label Towards Anthropophobia Experienced By the Main Character as Seen in Osamu Dazai’s No Longer Human. Disitu saya membahas bagaimana tekanan sosial atas standar hidup yang tinggi pasca pengeboman Jepang di Perang Dunia II sangat memengaruhi Yozo sang karakter utama untuk mengakhiri hidupnya (lalu beberapa tahun kemudian Osamu Dazai si author No Longer Human mengakhiri hidupnya dengan cara yang sama- membunuh kekasihnya, menggendong mayatnya lalu menceburkan diri ke sungai).

Ini ngomongin soal Jepang dulu. Fakta menarik dari peradaban Timur Jauh yang serba tertata dan orang-orangnya sangat kelewat sopan dan pekewuhan ini adalah: angka bunuh dirinya sangat tinggi (2 per 10,000 orang per tahun). Bahkan ada sebuah distrik di kaki gunung Fuji namanya Aokigahara (literally “sea of trees”) yang dijadikan tempat favorit bunuh diri di Jepang. Sampai-sampai di beberapa spot favorit buat bunuh diri, pemerintah setempat memasang rambu-rambu yang mengajak para calon suicidee agar memikirkan ulang apa yang akan diperbuat disitu, beserta nomor telepon suicide hotline.

Terjemahan: "Sing uwis yo uwis, Dik. Sini pangku Om :3"

Lagi-lagi Jepang dan lagi-lagi fakta menarik. Saya suka dengan budaya pop Jepang. Saya sering menonton anime dari berbagai genre di waktu senggang. Saya sudah khatam baca manga DBZ, Naruto, Homonculus, Death Note, Fullmetal Alchemist, dan banyak lagi. Saya juga seorang Gunpla builder. Saya menjadikan Advantage Lucy, Spangle call Lilli line, Matryoshka dan Kashiwa Daisuke sebagai playlist wajib saat bekerja. Kenapa saya segitunya suka sama produk budaya pop mereka? Karena, karya-karya mereka distinctive. Nggak ada duanya. Kadang juga sampe sekarang masih wondering, “eh kenapa ya mereka imajinasinya bisa seliar itu? Dari mana coba ilhamnya?” Bayangin deh, contoh: Inuyasha. Dia siluman setengah manusia setengah anjing hasil perkawinan silang dari seorang perempuan biasa dengan seorang jenderal dari underworld- setan anjing raksasa (udah setan, anjing pula). Bayangin dari mana datangnya ilham seorang Junji Ito sehingga bisa menciptakan banyak manga horror yang membuat saya nggak bisa tidur berhari-hari setelah membacanya. Bayangkan pula bagaimana seorang Tomoyuki Tanaka memetaforakan bom atom Nagasaki dan Hiroshima menjadi karya epic Godzilla. Porn industry mereka juga cringeworthy kan buat kita? I mean, lots of sex toys, bukakke and tentacles? Dafuq!

Salah satu panel manga horror Tomie karya Junji Ito

Saya punya hipotesa sendiri: mereka hidup di kultur dan etika yang standarnya sangat tinggi. Kerja di perusahaan multinasional atau memulai bisnis besar menjadi standar kesuksesan mereka- pait-paitnya ya jadi salaryman lah. Hidup serba teratur, serba rutinitas. Order, order dan order- yang seolah-olah nggak diberi ruang untuk mengejawantahkan chaos dalam diri masing-masing. Sehingga, output dari chaos yang dipendam itu kemudian diproyeksikan secara kreatif menjadi karya-karya yang saya sebutkan diatas tadi. Imajinasi orang-orang yang secara mental tertekan. Mereka menjadi “gila” dan “nggak masuk akal” lewat karya-karya mereka agar tetap waras. Demografis penikmat kultur pop Jepang kebanyakan ya sama-sama orang Jepang. Orang yang sama-sama terjebak dalam dunia yang standar sukses kehidupannya tinggi dan serba teratur. Orang non-Jepang yang menikmati kultur pop Jepang dianggap aneh dan kekanakan di lingkungannya sehingga muncullah istilah-istilah yang mendiskreditkan mereka, seperti term weaboo.

For Japanese people: some are the luckiest- to be able to channel their “madness" into works of art. Some are quite lucky- to be able to enjoy the “madness" as the audiences. Some are just unlucky- to be drawn into “madness” and overwhelmed by it, then choose to kill themselves.

Yang diluar Jepang ada pula contohnya. Lagi-lagi comic artist sih: Jerry Siegel dan Joe Shuster. Mereka berdua adalah pencipta karakter komik paling populer sedunia: Superman. Sungguh sial, Siegel tumbuh besar di keluarga imigran Yahudi asal Lithuania pada saat rezim Hitler mendunia- opresi terhadap kaumnya kebangetan banget. Jauh lah kalau dibandingkan opresi terhadap Ahmadiyah atau Syiah di Indonesia saat ini. Mereka diburu, haknya ditelanjangi, lalu dibantai secara keji. Karena terus ditekan dan stres, bunuh diri di kalangan kaum Yahudi baru ngehits pas saat itu (Jews punya banyak kenangan pahit soal mass suicide. Please see Siege of Masada, York Castle incident, or many references regarding Hitler-related Holocaust movement). Siegel dan Shuster bisa saja ikut-ikutan bunuh diri. Nothing to lose juga toh kalau hidup, opresi Yahudi ada dimana-mana. Tapi mereka terselamatkan oleh imajinasi. Mereka membuat sebuah karakter fiktif yang sangat bertolak belakang dengan kondisi kaum Yahudi: Kal-El, sang Superman dari planet Krypton. Populer dengan nama bumi Clark Kent, doi punya otot dan kulit sekuat baja tahan peluru. Man of steel, they said. Lalu bisa terbang, matanya mampu melihat tembus pandang layaknya sinar X dan bisa memancarkan heatwave. Bisa bergerak secepat peluru pula. Karakter imajiner yang sangat kuat adiluhung, bertolak belakang dengan realita penciptanya. Superman adalah buah dari keputusasaan, lara, ketakberdayaan melawan yang tak bisa dirubah. Siegel dan Shuster menciptakan dunianya sendiri, yang kemudian menyelamatkan kewarasan mereka.

Superman first issue

Dari contoh-contoh diatas, sepertinya saya sudah bisa membuat bottom line: stres, merasa kualitas hidup dibawah ekspektasi masyarakat, dan terjebak dalam rutinitas bisa menghadirkan ide atau emosi sesaat yang konsekuensinya permanen: bunuh diri. Saya mengalaminya sendiri. Ini serius. Jadi, setelah anak kedua saya lahir, hampir di saat yang bersamaan saya mendapat promosi jabatan sebagai project manager di kantor saya yang sekarang. Workloadnya? Tepokjidat-worthy deh. Lalu si nanny keluar- this was the point when all hell broke lose. Semua pattern dalam hidup kacau. Saya kerja dari jam 10, kelar baru bisa jam 10-11 malam gara-gara ikut ngurusin anak. Nggak tega menyerahkan semuanya ke istri. Well, tahu sendiri kan menyusui itu melelahkan (uhm, saya ngga tahu sih benernya secapek apa. Tapi dari literatur yang saya baca, ibu menyusui selama 20 menit itu capeknya setara dengan mild-jogging keliling lapangan bola 2 kali). Tapi pada saat yang bersamaan, saya merasa bersalah sama kantor sudah ninggal kerjaan berjam-jam. Pas pengen konsen kerja, saya gantian ngerasa bersalah dan ngerasa gagal menjadi seorang bapak dan suami yang baik karena mengabaikan keluarga demi konsen kerja. Anak-anak nangis while istri saya tepar habis ngasih ASI. Terus kalau sudah gini, saya jadi uring-uringan sendiri. Kerjaan kelar, saya harus begadang sampai jam 2-3 pagi karena anak saya yang pertama itu agak antik- sebelum tidur ada aja maunya. Paginya saya harus bangun untuk memandikan anak lalu mengantar terapi.

Untungnya, istri saya bisa channeling stres dengan charity project doi (Rumah Ramah Rubella) dan blogging. Lha saya? Nintendo 3DS saya sudah jamuran kali ya ngga pernah dimainin. Gundam berboks-boks nganggur di lemari. Saya sudah nggak ada niat buat menyelesaikannya. Kamera juga saya jualin satu persatu. Padahal Gundam dan kamera itu adalah katalis saya untuk stay sane. Tapi entah kenapa waktu itu kok rasanya kehilangan minat. Lalu muncul pemikiran negatif: am I worth living? Apa iya hidup saya cuma begini-begini saja? Kalo saya mati, orang-orang bakal kayak gimana ya? Caranya mati yang enak kayak mana sih? Diikuti dengan pengharapan tiap business trip saya ke Jakarta, saya berdoa (entah kepada siapa) agar pesawat yang saya tumpangi jatuh. Tiap naik taksi, saya berharap semoga ada truk bermuatan asam hidroklorik 5000 liter menabrak saya.

Tapi saya sadar sepenuhnya itu hanyalah pemikiran bodoh sementara. I believe eventually time heals almost everything (except dinosaurs. Time cannot bring back dinosaurs organically. Remember that). Dan benar saja, dengan bermodalkan keyakinan bahwa semua kemelut akan berakhir, saya mulai menemukan ritme untuk mengakali stres saya. Sehabis anak-anak tidur, saya dan istri menyempatkan diri untuk membahas apa saja yang sekiranya tidak menambah beban pikiran. Kadang tiba-tiba dansa di ruang makan diiringi acapela dari mulut kita bersenandung lagu FUN yang We Are Young, lalu cekikan bersama. Jurus paling jitu adalah menonton fail compilation di YouTube. Ya, saya adalah orang jahat yang suka menertawakan penderitaan orang lain. Kidding lol. But seriously, stupid people are so effin’ hilarious. Saya juga mencoba untuk lebih rutin menulis kreatif saat senggang, atau belajar hal baru yang berguna untuk pekerjaan.

Saya belajar bikin mockups dan prototyping aplikasi mobile. Sebelumnya saya sama sekali nggak bisa. Ini pekerjaan yang SUPER FUN!

To sum up, kalau stres, jangan sia-siakan waktu kamu untuk mengasihani diri sendiri. Take a break. Jangan sampai pekerjaan mengambil alih priortas (well, ini subjektif juga sih. Mungkin bagi yang belum berkeluarga, karir masih menjadi prioritas). A job is just a job anyway. Channeling juga penting banget sih menurutku. Lemparkan stres kamu ke sesuatu yang membangkitkan sisi kreatifmu. Berkebun, memasak, menulis, gambar, belajar coding, olahraga, apa aja deh as long as it can lift a little burden on your shoulder. Gabung ke charity project juga  bisa channeling stres- it will make you less lonely, and doing something good will make you feel good as well.

Mak jleb

Kalau semua itu masih belum mempan, ya sudah. Sepertinya kutipan dari Bill Gates diatas bisa menyadarkan.

Tabik!


Wednesday 13 November 2013

Am I Wry? No.


"I put up a huge wall of denial. It was years before I was able to break through it... accepting that your child has a disability, especially one that cannot be seen or easily diagnosed, is one of the hardest things to come to terms with." -- Anne Ford.

Halo!

Sudah lama saya tidak menulis blog ini. Apa lagi alasannya kalau bukan "sibuk", "nggak sempet", "capek" and whatnot. Memang akhir-akhir ini saya disibukkan dengan dibukanya kantor baru tempat saya bekerja. Otomatis saya sudah tidak bisa remote working lagi. Mana jarak dari rumah ke kantor sangat jauh. Rumah saya di pinggiran, sedangkan kantor di downtown. Nah, mumpung ada waktu nih, saya pengen nulis penny ante. Ini alurnya mengalir aja ya. Saya cuma menulis apa yang ada di pikiran. Nggak sempet bikin kerangka terlebih dahulu.

...

Ibu saya sudah menunjukkan tanda-tanda penuaan yang signifikan. Beliau sudah tidak segesit dulu. Setiap saya mampir ke rumah doi, selalu saja Ibu sudah tidur. Ibu juga sering mengeluh ke saya kalau dia sekarang gampang capek. Dia juga bilang udah nggak sanggup menangani usaha doi seorang diri. Ditunjuklah saya untuk mengurusi salah satu bisnis beliau: kost cowok yang ada di bilangan Babarsari. Jadi, Ibu sudah nggak mau tau lagi kalau-kalau ada penghuni yang komplain tentang wc mampet, air tidak bersih, internet lemot, dan sebagainya -- sayalah yang harus mengurusi semua itu. Nanti setiap ada pemasukan, hasil bersih setelah dipotong biaya operasional akan saya bagi dua. Satu bagian masuk kantong saya, lainnya buat Ibu.

Rumah kost kami buat sengaja meniru struktur penjara panopticon. Bentuk U dan ada rumah induk di tengah, dengan maksud untuk memudahkan pengawasan. Maklum, daerah kost ini sering banget ada ribut-ribut yang menggadang isu rasisme dan chauvinisme kedaerahan. Ada satu keluarga yang saya pasrahi untuk menjaga stabilitas rumah kost tersebut. Sambil menyelam minum air, mereka diijinkan oleh Ibu untuk membuka warung makan di dalam area kost. Pada suatu malam, tibalah jadwal saya untuk menagih uang kost yang sudah jatuh tempo. Di sela penghitungan uang, si ibu dari keluarga tersebut (let's say Bu B) nyeletuk tanya perihal anak saya, "Gimana kabar Aubrey? Sehat-sehat saja, kan?" Saya tahu doi cuma basa-basi mengingat doi tahu persis bagaimana keadaan anak saya. Aubrey tidak sehat. As always. Dengan maksud memberi angin positif di pembicaraan, saya jawab, "Puji Tuhan baik, Bu. Sekarang sudah bisa ngoceh sejak pakai alat bantu dengar." (PS: anak saya terkena congenital rubella syndrome. Kalau pengen tahu lebih lanjut, silahkan mampir ke blognya Aubrey yang dibuat oleh istri saya). Lalu, out of the blue, Bu B menanyakan satu kalimat tanya yang membuat pikiran saya melayang... "Mas Adit, malu nggak sih punya anak cacat seperti Aubrey?"

And, DAFUQ moment occured.

Saya terdiam. Saya bingung, antara meragukan keseriusan pertanyaan Bu B dan apa yang sebenarnya saya rasakan terhadap keadaan anak saya. Saya terus terdiam, lalu pikiran saya mengawang membentuk imaji Aubrey yang sedang tertawa cekikikan disaat dia dimandikan, atau gerutu imutnya saat dia digoda maminya. Sepersekian detik, saya menelaah pikiran saya sendiri. Apakah saya malu?

Tidak. Saya tidak malu. Sedih? Iya sedih. Tapi tidak malu. Ingin rasanya saya memberondong pertanyaan ke Bu B, "Kenapa mesti malu?" Baiklah, anak saya memang terlahir tidak sempurna. Namun tidak satu detikpun dalam kehidupan berkeluarga, saya dan istri merasa malu punya Aubrey. Itu darah daging saya sendiri. Beda perkara kalau Bu B bertanya, "Sedih nggak Mas punya anak dengan keadaan seperti Aubrey?" Percayalah, Bu B, dalam kurun berbulan-bulan setelah tahu Aubrey mengidap CRS, tidak satu malam pun saya lewatkan tanpa menangis. Tidak satu malam pun saya lewatkan mengutuk dan membenci Tuhan. Juga saat melihat hasil-hasil test lab maupun konsultasi dokter, tidak satu pun perjalanan terlewati tanpa isak tangis kami berdua di dalam mobil sambil memeluk erat Aubrey dengan penuh keputusasaan. Kami sangat sedih. Saking sedihnya, saya dan istri sering sekali bertengkar, saling menyalahkan, karena kami sudah kehabisan bahan apa dan siapa untuk dipersalahkan. Karena depresi, saya kembali merokok setelah sekian lama berhenti. Dulu saya berpikir bahwa dunia ini indah dan hanya orang bodohlah yang memutuskan untuk bunuh diri. Pada saat itu saya bisa berempati pada korban bunuh diri. Saya menemukan sejuta alasan untuk mengakhiri hidup saya. Saya secara tiba-tiba mengubah point-of-view terhadap dunia. Dunia ini tidak indah. Dunia ini kejam. Dan tidak adil.

Setelah melalui aral lintangan dan penstabilan emosi, saya dan istri memutuskan untuk berdamai dengan keadaan. Tidak mudah memang. Istri harus keluar dari pekerjaan untuk bisa konsentrasi mengurusi Aubrey. Saya harus menjual supermoto Kawasaki kesayangan, koleksi vinyl dan CD musik langka dan seperangkat peripheral kamera untuk biaya terapi dan obat. Kami harus memutar otak untuk menghasilkan uang lebih karena Aubrey ini anak mahal -- biaya yang harus kami keluarkan untuk perawatan doi nggak sedikit dan perusahaan asuransi tidak mau mengkover biaya kesehatan kliennya yang terkena CRS seperti Aubrey dengan alasan pre-existing condition. Istri kemudian punya ide untuk membuat bando bayi untuk dijual via online. Tidak jarang dia melewatkan malam tanpa tidur. Kecapekan. Konstruksi sosial yang nggak biasa melihat anak berkebutuhan khusus di tempat umum juga sempat nempeleng kita. Jadi ceritanya, di hari Minggu saat kita belanja bulanan di supermarket, ada satu ibu muda menggandeng anaknya. Kita berpapasan di satu lorong bagian makanan instan. Ibu itu melihat Aubrey yang memakai alat bantu dengar dengan penuh keheranan, kemudian doi ngomong ke anaknya, "Lihat tuh dek ada anak cacat. Kasihan ya?" -- dan banyak lagi contoh perilaku pengkerdilan terhadap Aubrey di masyarakat yang harus kita hadapi. Ditambah pula, hidup berkeluarga dengan anak berkebutuhan khusus tanpa didampingi PRT sungguh bukanlah hal mudah untuk dijalani. Bayangkan saja, saya harus bekerja dari pagi hingga sore. Begitu pulang ke rumah, saya tidak sempat untuk leyeh-leyeh dan mengeluh perihal pekerjaan yang numpuk. Saya mandi, bersiap untuk mengantar Aubrey fisioterapi. Sepulang fisioterapi, saya biasanya beli makanan yang baru bisa disantap rata-rata lewat jam 11 malam. Dan hal ini terjadi 3 kali dalam seminggu, mulai dari Aubrey berumur 6 bulan sampai entah kapan. Kehidupan sosial? Tidur setelah ngantor? Itu semua menjadi barang mewah bagi kami. Olahraga pun kami nggak sempat, apalagi nonton film di XXI yang dulu jadi jadwal rutin kita setiap weekend. Nggak ada waktu. So little time, too much to do.

Setelah sekelumit gambaran tentang keluarga saya diatas, sekarang saya tanya, perlu alasan apa lagi untuk tidak membenci keadaan? Namun kami berusaha untuk tidak melihat semuanya dengan sisi negatif. Every cloud has a silver lining. Kami mencoba bersyukur atas hal-hal kecil yang kita punyai. Saat orang lain mengeluh kenapa anaknya bergerak terlalu aktif, kami sangat bersyukur saat Aubrey mulai mau menggerakkan jemari-jemari kecilnya melawan keterlambatan motorik yang diidapnya. Setiap gerakan Aubrey, bagi saya, adalah gerak Saraswati saat membuat Buku Pengetahuan: graceful, beautiful. Saat orang lain mengeluh atas berat badan anaknya yang tidak naik secara signifikan, kami bersyukur atas setiap ons kenaikan berat badan Aubrey. Saat orang lain mengeluh anaknya susah tidur, kami dengan riang membacakan Aubrey cerita dongeng untuk melatih pendengarannya, dan kami bersyukur akan hal itu. Saat orang lain mengeluh PRT-nya tidak becus mengurusi anaknya, kami lagi-lagi bersyukur telah diberi kesempatan untuk merawat Aubrey langsung tanpa campur tangan orang lain.

Secara tidak langsung, rasa bersyukur itu memberikan kami celah untuk bahagia. Aubrey membawa kebahagiaan dan berkah. Tidak hanya kami, orang-orang di sekitar juga ikut bahagia. Ayah Ibu saya, Kakak, Adik, saudara-saudara, semua tergugah dengan adanya Aubrey diantara mereka. Bahkan, orang-orang yang tidak suka dengan saya bisa jadi juga merasakan kebahagiaan atas kehadiran Aubrey di dunia ini. Dulu, sebelum Aubrey lahir, ada orang-orang yang kurang suka dengan saya dan istri. Mereka mendoakan kalau besok Aubrey akan terlahir cacat. Dan benar, harapan mereka terwujud. Mungkin mereka bahagia dengan terwujudnya sumpah serapah mereka atas keadaan Aubrey yang serba terbatas. Apapun kondisinya, jika ditilik dengan positif, semuanya menjadi berkah, baik dari diri sendiri, maupun untuk orang lain... :)

...

Saat itu Bu B sudah dengan antusias menanti jawaban saya atas pertanyaan konyol doi. Saya tersenyum, mengambil sebatang rokok, memantik korek api, menyalakannya, dan menjawab, "Kayaknya Bu B sudah tahu jawabannya kan kalau Bu B melihat bagaimana saya dan istri memperlakukan Aubrey?"

Bu B lalu senyum kecut, salah tingkah, sepertinya sudah sadar kalau doi sudah melemparkan pertanyaan bodoh... "Nggak malu ya, Mas?"

"Nggak, Bu. Nggak pernah malu."

Salam.


Hello there!

Monday 7 October 2013

21 Memo Dari Anakmu


"If there is anything that we wish to change in the child, we should first examine it and see whether it is not something that could better be changed in ourselves." -- Carl Gustav Jung.

Mom, my sister, me, and my brother

Halo!

Penny ante kali ini akan saya isi dengan sebuah pengalaman saya (dan keluarga) yang sangat berharga, yang membuat saya berpikir bahwa fondasi perilaku pada anak berakar dari cara kita memperlakukan mereka, serta pentingnya komunikasi yang baik dalam sebuah keluarga.

Mungkin bagi kalian yang mengenal saya dan keluarga secara pribadi akan tahu persis bagaimana keadaan rumah saya setelah tahun 2008 -- banyolan konyol dari Ayah, paksaan non-stop Ibu untuk menghabiskan makanan di rumah, keramah-tamahan Kakak, atau momen hangat saat berbagi cerita lucu dengan Adik (yang akan membuatnya tertawa sangat kencang seperti seorang barbarian). Namun sebelum itu, keadaan keluarga saya jauh dari imaji-imaji diatas.

Waktu tepatnya saya agak lupa, pokoknya kisaran tahun 2007-2008. Itu saat dimana orangtua saya sering sekali bepergian untuk urusan pekerjaan -- baik di dalam maupun luar negeri, Kakak sedang bingung mencari kerja, saya juga stres dengan urusan kuliah yang tak kunjung usai, dan Adik yang saat itu bersekolah di Surabaya juga sedang ada masalah pribadi. Keadaan pelik namun tak kasat mata memuncak disitu dan kita sadar akan sesuatu: keluarga kami tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Ya, mungkin ini masalah sepele, tapi imbasnya begitu besar. Kealpaan komunikasi yang baik di rumah membuat kami memendam energi negatif tersebut diam-diam dan dalam jangka waktu yang lama. Mungkin diantara saya, Kakak, dan Adik tidak ada masalah yang begitu berarti. Tapi, saat berhadapan dengan orangtua, NAH! Pilar-pilar komunikasi yang sehat menjadi hancur berantakan. Energi negatif yang terpendam begitu lama oleh satu anggota keluarga dimanifestasikan menjadi sesuatu yang kurang disenangi oleh anggota keluarga yang lain. Jika ada suatu masalah, Ayah kemudian menjadi cepat marah, Ibu gampang menangis, Kakak jadi sangat cuek, Adik jadi pasif-agresif, dan saya jadi nggak pernah betah di rumah, kelayapan tiap malam.

Sadar akan hal ini, Ayah-Ibu saya menceritakan permasalahan kami ke tante saya yang ada di Surabaya (doi juga host-nya adik saya selama sekolah disana). Beliau ini adik Ibu saya, yang sudah kami anggap "mama kedua" karena cuma Tante ini yang bisa menjembatani komunikasi antara kami bertiga (saya, Kakak, dan Adik) dan orangtua. Dari beliau, kami dianjurkan untuk menemui seorang psikiater kawakan di Surabaya, namanya dr. Tuty Herwini, SpKJ. Doi praktek di RSAL Ramelan Surabaya, tapi juga buka praktek di rumah (daerahnya mana saya lupa). Karena keterbatasan jarak dan waktu, Ayah-Ibu saya menjadwalkan untuk terapi keluarga di rumah doi dengan membuat perjanjian terlebih dahulu. Pada awalnya, saya menolak mentah-mentah ide ini. Saya ngomong ke Ibu, "saya itu nggak sakit jiwa, kok disuruh datang ke dokter spesialis kejiwaan?!" Namun, setelah diberi pengertian oleh Bu Dokter bahwa penyakit kejiwaan belum tentu afirmasi dari gila -- phobia, kecemasan berlebih, ataupun sering mimpi buruk dapat juga dikategorikan sebagai penyakit kejiwaan -- saya kemudian mengiyakan. Lalu kami berlima diberi satu modul yang tebalnya minta ampun. Di sampul modul ada tulisan MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) yang berisi ratusan pertanyaan remeh dan repetitif, yes-no question, asosiasi simbol, dan selebihnya contoh kasus perilaku untuk mengetahui indeks kepribadian kami. Dokter bilang, modul ini harus dikerjakan sejujur-jujurnya, nggak usah pakai mikir panjang. Kami diberi waktu kurang lebih 2 jam untuk mengerjakannya, dan dilanjutkan dengan sesi wawancara satu persatu.

Selesai mengerjakan, muncullah hasilnya. Baik saya, Kakak, Adik, Ibu, maupun Ayah mendapat nilai yang nyaris sempurna di bagian moral. Itu artinya, kami sekeluarga masih bisa memegang dengan baik norma sosial yang ada di masyarakat. Namun, penjelasan Bu Dokter selanjutnya bikin kita menelan ludah. Dari tes tersebut, masing-masing anggota keluarga memiliki masalah, diantaranya: kurangnya kontrol terhadap emosi, terlalu mudah memaafkan, sulit untuk ikhlas, masokis, sangat tidak percaya diri, dan potensi sociopath. Siapa mengidap apa, saya tidak mau menjabarkannya disini. Intinya, we were fucked up. Akar dari semua "penyakit" itu adalah komunikasi antar anggota keluarga yang tidak baik. Masing-masing memberi makan egonya dengan menghindari masalah primordial yang menyebabkan membengkaknya "borok" yang diperban dengan manis selama ini.

Dokter Wien (begitu kami memanggilnya) menjadwalkan untuk terapi rutin secara intens sebanyak 10 sesi. Tiap sesi diberi jeda 1 bulan. Metode yang dipergunakan adalah hipnoterapi. Sesekali Bu Dokter memberikan resep obat antidepresan macam Frixitas dosis rendah untuk saya yang memang memiliki kecemasan berlebih sejak kecil (ditandai dengan keluarnya keringat dari telapak tangan terus menerus). Saat menjalani hipnoterapi, kami diberi sugesti positif. Di waktu sesi hipnosis personal, saya tidak merasa aneh atau takut. Saya hanya dibimbing melalui suara-suara Bu Dokter. Memang terasa mengantuk dan saya memang diharuskan untuk memejamkan mata, tapi suara doi masih terdengar sangat jelas. Saya "diajak" berkelana ke masa kecil saya dimana doi memperkirakan saya mengalami trauma masa lalu. Kemudian saya disuruh mempersonifikasikan memori tersebut sebagai manusia. Saya disuruh ngobrol sama memori itu. Ngobrolnya nggak lama, cuma basa-basi saja macam "apa kabar" dan lain lain. Saya lalu disuruh untuk berpamitan dan tidak menoleh ke belakang. Selanjutnya, saya merasakan tepukan halus di lengan saya, yang menandakan untuk segera membuka mata. Begitu bangun, saya tidak merasakan perubahan apa-apa. Namun, saat saya diajak bicara oleh Bu Dokter, saya terus melakukan eye contact dengan Bu Dokter. Tidak, saya melakukan eye contact dengan siapa saja yang mengajak saya bicara. Suatu hal sepele yang tidak pernah bisa saya lakukan sebelumnya. Saya merasa menjadi pribadi yang lebih baik setelah itu: jam biologis saya lebih teratur, saya bisa berbicara mengenai apa saja kepada Ayah-Ibu, yang otomatis membawa komunikasi keluarga kami yang sebelumnya bermasalah ke tahap yang lebih baik. Tidak hanya saya yang berubah, semua anggota keluarga merasakan hal yang sama. Ayah jadi lebih sabar, Ibu lebih bisa outspoken, Kakak nggak cuek lagi, dan Adik jadi pribadi yang bisa diandalkan.

Sejak saat itu, kami selalu bisa menghalau permasalahan-permasalahan yang muncul dengan baik. Tidak ada lagi sakit hati yang dipendam, semuanya dikomunikasikan dengan suasana nyaman dan kondusif. Kami menjadi lebih menyayangi dan mendukung satu sama lain. Di sesi terapi terakhir, teras rumah Bu Dokter diisi dengan tawa kami. Kemudian, Bu Dokter memberikan selembar fotokopian yang berisi poin-poin berbahasa Inggris. Bu Dokter bilang, "Ini ada sedikit wejangan dari entah siapa, anonymous. Dibaca, ya. Jangan sampai kesalahan yang dulu-dulu terulang lagi pas besok kamu-kamu (saya, Kakak, dan Adik) udah punya keluarga sendiri."

Ini kira-kira terjemahan selebaran dari Dokter Wien:


21 MEMO DARI ANAKMU

1. Jangan manjakan aku. Aku cukup tahu bahwa aku tidak harus memiliki semua apa yang aku minta. Aku hanya mengujimu.

2. Jangan ragu-ragu untuk bersikap tegas denganku. Aku lebih menyukainya, karena itu membuatku merasa lebih aman.

3. Jangan membiarkanku melakukan kebiasaan buruk. Aku harus mengandalkanmu untuk mengetahui baik atau buruknya sesuatu hal di awal-awal kehidupanku.

4. Jangan membuatku merasa kecil. Itu hanya akan membuatku bertingkah dan berusaha untuk "besar" – dengan bodohnya.

5. Kalau bisa, jangan memarahiku di depan banyak orang. Aku akan lebih memperhatikanmu jika kamu berbicara secara halus dan personal.

6. Jangan membuatku merasa bahwa kesalahanku adalah suatu dosa. Hal ini akan mengacaukan batasanku tentang nilai-nilai kehidupan.

7. Jangan lindungi aku dari konsekuensi. Kadang-kadang aku juga perlu belajar dari rasa sakit.

8. Jangan marah saat aku bilang, "aku benci kamu.” Bukanlah kamu, namun kuasamu yang mencegahku melakukan sesuatu, itu yang aku benci.

9. Jangan terlalu menganggap serius penyakit sepele yang aku derita. Kadang-kadang itu hanyalah caraku untuk mendapatkan perhatian lebih darimu.

10. Jangan menjadi menyebalkan dengan mengulang-ulang perkataanmu. Jika kamu melakukannya, aku akan melindungi diriku sendiri dengan berpura-pura tuli.

11. Jangan lupa bahwa aku tidak bisa menjelaskan hal-hal yang kuperbuat dengan baik. Itulah mengapa aku tidak selalu benar dalam menjelaskannya.

12. Jangan membuat janji-janji palsu. Ingat! Aku akan sangat sedih jika janji-janji itu tidak ditepati.

13. Jangan terlalu menuntut kejujuran dariku. Aku sangat mudah berbohong jika ketakutan.

14. Jangan plin-plan. Itu akan membuatku bingung dan rasa percayaku padamu akan hilang.

15. Jangan anggap ketakutanku adalah sesuatu yang bodoh. Ketakutanku benar-benar nyata, dan kamu akan membantuku menghilangkan ketakutanku jika kamu mencoba untuk mengerti.

16. Jangan mengabaikanku jika aku bertanya tentang sesuatu. Jika kamu mengabaikanku, akan berhenti menanyaimu dan mencari tahu jawaban pertanyaanku pada orang lain.

17. Jangan pernah menganggap bahwa kamu sempurna dan tidak pernah salah. Hal tersebut akan mengakibatkan guncangan pada diriku, jika kelak aku tahu kamu tidak sempurna dan pernah berbuat salah.

18. Jangan pernah mementingkan harga diri saat minta maaf padaku. Permintaan maaf yang jujur akan membuatku hormat padamu.

19. Jangan lupa, aku akan tumbuh besar dalam sekejap mata. Bagimu mungkin akan sangat sulit untuk menuntun langkahku. Namun kumohon, cobalah.

20. Jangan lupa, aku suka bereksperimen dan mencoba hal-hal baru. Aku tidak bisa berkembang tanpanya. Jadi kumohon, bantulah aku.

21. Jangan lupa, aku tidak bisa tumbuh kuat tanpa cinta dan pengertian darimu. Namun, aku tidak perlu mengatakannya padamu, bukan?

--

Setelah membaca 21 poin tersebut dan dari sesi-sesi hipnoterapi, saya menarik kesimpulan. Ternyata trauma-trauma kecil di masa lalu atau pengalaman kurang menyenangkan dari orangtua yang sering dianggap sebagai angin lalu, dapat berimbas besar di kemudian hari. Saat ini saya sudah menjadi seorang ayah. Saya tidak ingin anak saya mengalami hal-hal buruk yang terjadi dalam keluarga yang pernah saya alami dulu. Dari uraian diatas, saya juga menyadari sesuatu. Mungkin kelak ada masanya anak saya menjadi nakal. Mungkin juga saya akan melakukan mekanisme pembelaan diri dengan melontarkan pernyataan "namanya juga masih anak-anak." Namun kenyataannya tidak begitu. Sikap itu secara tidak sadar akan terbawa sampai doi dewasa kelak, entah implementasinya terlihat secara konstan ataupun muncul sesekali, kemudian tenggelam, dan muncul lagi dengan dahsyatnya seperti yang terjadi pada keluarga saya.

Salam.

Tuesday 24 September 2013

Tato Itu Nggak Sangar. Tato Itu Sentimentil.

Halo!!

Berjumpa lagi dengan salah satu penny ante via tulisan saya. Kali ini saya ingin membahas pengalaman saya circa Maret 2013 lalu, dimana dokter bedah internis menemukan ada yang aneh dengan pantat saya... Ya, saya menderita internal hemerrhoid (sok keren nih, padahal ini cuma istilah kedokteran dari wasir). Tapi, bukan itu permasalahannya. Sewaktu dilakukan colonoscopy, tidak hanya wasir yang lumayan gemuk ditemukan di pantat saya. Diketemukan polip juga. Polip inilah yang jadi perhatian ekstra si dokter bedah internis. Doi takut kalau polip ini bisa memicu kanker usus besar kalau dibiarkan. Langsung saja si dokter menjadwalkan operasi pengangkatan polip itu segera. Lemas tak berdaya saya meratapi kebodohan masa lalu dimana saya mengkonsumsi mi instan nonstop selama 1 tahun saat sibuk mengerjakan skripsi S1 dulu -- dan inilah penyebabnya, disamping kurangnya olahraga dan konsumsi serat. Ya sudahlah. Mau gimana lagi?

Hari menjelang pengangkatan polip hampir tiba. Saya memilih rumah sakit di dekat UGM, karena asuransi saya hanya mau mengkover biayanya jika saya melakukan operasi di rumah sakit itu. Tidak rugi sih, secara rumah sakit itu reputasinya sangat baik. Sewaktu saya mengantri di ruang tunggu, tidak sedikit mata yang melihat saya dari ujung rambut sampai ujung kaki karena tato saya. Mulai dari pasien lain, pengunjung, suster, dokter, dan sebagainya. Untuk hal ini saya sudah terbiasa, dan saya cuek saja. Lalu pengalaman kurang mengenakkan datang saat saya dibawa di ruang steril pra-opname. Saya diminta melakukan prosedur standar sebelum operasi. Pertama, rontgen thorax. Di ruang radiologi, saya dilayani oleh seorang suster cewek muda. Saya disuruh melepaskan baju. Pada saat si suster lihat seluruh tato saya, doi kaget terus nyeletuk, "Mas, tatoan banyak gitu, bisa kerja apaan?" Saya kaget. Lha kok si mbak ini prejudis sekali, ya? Mentang-mentang saya tatoan terus doi ngira saya ini pengangguran, gitu? Saya sempat diam, lalu menjawab, "Marcomm, mbak." -- memang kebetulan pada saat itu saya bekerja sebagai marcomm manager di salah satu institusi pendidikan swasta di Jogjakarta. Respons yang saya terima dari si mbak suster itu lebih mengejutkan lagi. Doi bilang, "Nggak mungkin! Masa' tatoan kerjanya marcomm sih mas?" Karena rada dongkol, saya jawab aja, "Karepmu, mbak. Ngandel kena, ora ya kena." (arti: terserah mbak boleh percaya apa nggak).

Tahap kedua, saya disuruh MRI. Saya disuruh telanjang lagi. Kali ini mas-mas berdagu runcing dan berkacamata tebal yang menemani saya di ruangan. Lagi-lagi, begitu saya buka baju, si mas ini bilang, "Wah ati-ati ada preman!" Disambung tawa dari staf-staf ruang radiologi. Doi nambahin, "Mas, sering malak di terminal mana?" Again, saya dihakimi dari penampilan. Karena malas menanggapi, saya hanya senyum kecut saja, lalu menyuruh masnya untuk segera bekerja.

Saya masuk ruang operasi di hari kedua opname setelah melalui diet dan body treatment pra-operasi. Di ruang steril, saya diberitahu tentang teknik bius yang akan digunakan yaitu dengan memberi epidural untuk melumpuhkan bagian tubuh dari perut kebawah. Sedangkan perut keatas tidak dibius total, hanya diberi sedatif melalui infus. Yang tidak diberitahu adalah cara memasukkan epidural ke tubuh saya. Tulang punggung saya dilubangi di empat titik, lalu selang kecil dimasukkan lewat situ, barulah epidural dimasukkan lewat selangnya. Rasanya? Pernah digebuk pake baseball bat tepat di tengkuk? Saya pernah, dan rasanya jauh lebih sakit dari itu. Saya menjerit, menangis sejadi-jadinya. Sakitnya luar biasa. Disaat titik terlemah saya, suster-suster cowok malah memperlihatkan perlakuan yang kurang menyenangkan. Salah satu dari mereka bilang, "Walah mas, tatonya banyak tapi kok nangis. Payah nih." Seketika saya ingin mencak-mencak, ingin misuh-misuh, ingin menarik kateter saya lalu menjejalkannya ke mulut si suster itu... Tapi epidural bekerja cepat sekali. Saya tidur dengan nafas tersengal, lalu terbangun di elevator, disuguhi pemandangan paling indah di samping saya -- sang istri, dengan senyumnya. Dia berkata, "Operasinya sudah selesai. Sudah diangkat."

Saya diminta dokter untuk tinggal di rumah sakit sekurang-kurangnya seminggu, sekaligus menunggu hasil laboratorium apakah polip yang sudah diangkat berpotensi kanker. Seraya menunggu, tidak banyak yang bisa dilakukan. Bergerak aja susah. Di malam hari, jika efek morphine sudah habis, saya mencakar-cakar muka saya sendiri, mencabut infus, memaki -- karena sakitnya nggak ketulungan. Di hari ke-entah-saya-lupa, si dokter bedah internis masuk ke kamar saya ditemani seorang suster. Waktu itu saya dibawah pengaruh Ketesse 25 mg, ketawa-ketiwi sama istri. Tiba-tiba si suster menyuruh istri saya untuk keluar dengan nada setengah maksa. Istri saya kebingungan, saya juga nggak ngeh ada apa ini sebenarnya. Ternyata, si dokter meminta saya untuk menjalani tes HIV/AIDS dengan kerahasiaan terjamin... Heh?! Saya tanya kenapa, dokter jawab gara-gara saya punya banyak tato dan alasan medis blablabla saya tidak ingat detilnya. Itulah mengapa istri saya disuruh keluar. Lalu saya ngotot untuk melibatkan istri saya dalam percakapan ini karena dia berhak tahu. Setelah istri saya datang, saya menjelaskan kepada dokter sewaktu bikin tato ini saya sangat berhati-hati. Survey tempat, attitude si tattoo artist, alat-alat yang digunakan, dan sebagainya. Saya sadar kalau jarum tato bisa menularkan HIV, maka dari itu saya memilih tempat tato dan tattoo artist yang bener-bener bagus dan profesional. Dan atas pilihan saya tersebut, saya yakin kalau saya tidak terinfeksi HIV. Namun tetap saja, biar cepetan selesai urusan rumah sakit ini, saya iyakan saja permintaan si dokter. Hasilnya? Negatif.

Guwe bilang juga ape?!

Yang ingin saya garisbawahi dari serangkaian kejadian diatas, ternyata masih banyak orang-orang yang prejudis terhadap orang bertato. Di kasus saya, saya dianggap:

1. Pengangguran
2. Preman
3. Kebal rasa sakit
4. Mengidap HIV/AIDS

Di jaman sekarang, banyak segudang pekerjaan yang tersedia bagi semua orang. Saya kenal secara personal orang-orang bertato yang sukses (dalam segi finansial). Dan saya tidak pernah tahu ada koruptor yang bertato. Maksud saya, tato tidak bisa dijadikan patokan pekerjaan yang dilakoni oleh seseorang. Kalau sudah memasuki ranah pekerjaan yang dilihat toh profesionalisme kinerjanya. Untuk poin kedua dan ketiga, saya juga agak gemes dengan stereotipe preman lah, sangar lah, tangguh lah, jika kita memiliki tato. Saya bukan preman, saya nggak sangar, dan saya tidak tangguh dari segi fisik. Lalu kenapa dengan adanya tato di tubuh saya, orang-orang menganggapnya demikian? Alasan saya menato tubuh saya adalah, saya ingin mengabadikan kenangan, buah pikir, dan hal-hal sentimentil lainnya dengan media kulit dan tinta. Tato saya berupa Saraswati, boneka Benzaiten, anggrek hitam, lotus, bulan, ombak, pita magenta, dan mantra Mahamudra -- semuanya itu manifestasi dari rasa sayang saya terhadap Ibu. Cengeng banget kan alasannya? Lalu kenapa kebanyakan orang beranggapan bahwa itu semua sangar? Bukan cuma saya, banyak teman-teman yang membuat tato di tubuhnya dengan alasan yang sentimentil juga. Tato itu nggak sangar. Tato itu cengeng. Tato itu sentimentil.

Belakangan ini saya baru ngeh, ternyata stereotipe tentang orang bertato juga disuburkan oleh orang-orang bertato juga, terutama yang bertato untuk alasan fashion. Begini ceritanya. Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan ngobrol dengan teman kuliah yang sudah lama sekali tidak bersua, yang kebetulan juga bertato. Tahu saya memiliki tato, dia langsung tanya apakah saya punya anjing pitbull? Saya bilang tidak punya. Dia tanya lagi, apakah saya mengendarai muscle car? Saya jawab tidak. Lalu dia mengeluarkan pernyataan yang membuat saya bingung. "Kalau nggak punya pitbull, terus masih pake mobil MPV, kamu mending hapus aja tato kamu. Jiwamu belum genep kalau punya tato tapi ngga punya pitbull sama muscle car!" Ini apa lagi? Saya baru denger kali ini kalau punya tato harus punya sepaket anjing pitbull dan muscle car.

Hal senada juga dilontarkan oleh teman istri saya. Si temen istri itu tanya, apakah di Jogja ada yang berjualan pomade? Istri saya tidak tahu pomade itu apa, lalu tanya ke saya. Sebatas pengetahuan saya, pomade itu minyak rambut. Lalu si temen istri tanya, kalau di Jogja, belinya dimana. Berhubung saya tidak pernah pakai, otomatis saya tidak pernah tahu dimana bisa beli pomade. Si temen istri kaget, lalu bilang, "Suami kamu tatoan kan? Kok nggak pakai pomade? Wah, nggak afdol tuh! Hapus aja tatonya." Untuk kesekian kali saya disuruh menghapus tato karena suatu hal yang saya kurang sampai untuk memahaminya.

Apa ya kira-kira maksud dari dua pernyataan diatas tadi? Apakah sebagai orang bertato saya harus menjalani hidup ala rockabilly, mendengarkan paduan musik rock and roll dan country, memelihara anjing pitbull, dan mengendarai muscle car? Saya heran, apa kesan yang hendak dibangun atas pembatasan-pembatasan diatas? Apakah mereka merasa menjadi elitist setelah punya tato, lalu memaksakan gaya hidup meniru pendahulu mereka? Atau hanya karena alasan dangkal: ingin terlihat keren dengan mengikuti happening trend di kalangan orang bertato? Saya tidak tahu.

Memang, saya mendengarkan musik-musik rockabilly macam Gazzguzzlers atau The Stray Cats, namun saya mendengarkan Spice Girls atau Kate Nash tanpa rasa bersalah telah mengkhianati "kesangaran" tato saya. Saya meminum bir di teras rumah bersama istri dan teman-teman alih-alih nongkrong di bar penuh asap rokok. Saya mengendarai mobil MPV karena nyaman dan irit. Saya tidak memakai pomade karena rambut saya akan ketombean dan gatal-gatal jika memakai segala minyak rambut. Yang saya tahu, saya tidak merasa lebih sangar dari orang yang tidak bertato. Saya merasa setara.

Salam.

Monday 16 September 2013

Fotografi Monokrom

“When you photograph people in color, you photograph their clothes. But when you photograph people in Black and white, you photograph their souls.” -- Ted Grant.

Kutipan diatas mewakili semangat saya untuk lebih dalam mempelajari teknik memotret BW. Itulah mengapa hampir semua pameran fotografi saya baik tunggal maupun kolektif, semua presentasi akademik sewaktu saya masih kuliah di sekolah seni, kebanyakan memakai foto hitam-putih. Saya jatuh cinta dengan fotografi monokrom yang menggabungkan hitam dan putih dalam sebuah kontinum, memproduksi nuansa abu-abu. Fotografi ini mewakili semua aspek idealisme saya bahwa tiada di dunia ini yang serta-merta hitam atau putih. Semuanya abu-abu. Anti-Hero. Abu-abu adalah kejujuran mutlak diatas semua kemunafikan yang diklaim oleh hitam atau putih. Hitam bukanlah warna. Dia terlalu kompleks. Putih terlalu tamak -- dia adalah gabungan dari semua unsur warna. Abu-abu berdiri diantaranya.

Sedikit preview atas karya-karya saya yang saya ikutkan dalam kompetisi hore "31 Hari Memotret" yang diadakan oleh UKM Fotografi Universitas Sanata Dharma "Lens Club":


Memento Mori
We Own the Night
Food Anthem
To Whom It May Concern
Why Do I Love Black: It's Not a Color 
Comfort Zone
Drip Drop Teardrop
Dryggdrasil
Death Moves in Silence 
Photosensitive Ganglion Cells 
Blood
Slim, Laceless, Straps, Original
The Princess Wears Silver Armor
Hot One
Crystaline
Om Mani Padme Hum

Enjoy the photographs.
Salam!

NB: Jika ingin menggunakan foto-foto diatas, monggo silakan. Tapi ingat ya kita punya lisensi Creative Commons. Tidak perlu menyantumkan nama saya. Just acknowledge the fact that those photographs are mine.