Friday 18 December 2015

Rigor Mortis: In Search of Temporary Suicide


Halo!

Penny ante saya sepertinya tertelan kemalasan (lagi-lagi). Nggak kayak blognya bini yang rajin update secara konsisten. Saya mah apa atuh :))

Disclaimer: yang saya tulis dibawah hanyalah hipotesa saya belaka. Tidak didasari penelitian kualitatif maupun kuantitatif, hanya sebatas individual knowledge yang sarat kesalahan. Boleh setuju boleh tidak.

Akhir-akhir ini saya sering sekali berpikir tentang bunuh diri. Bukannya saya ingin mengakhiri hidup saya- tapi mikir faktor apa saja sih yang bisa bikin kita bunuh diri. Sempet skimming berita tentang gimana anak ABG gantung diri setelah ngga sengaja ngerusak tablet orangtuanya, terus ada juga yang bunuh diri gara-gara permasalahan hati (kalau minjem bahasa temen saya, sakit qolbu), ada juga yang disebabkan oleh tekanan (dibully, workload di kantor yang menggila, atau semacam itulah), dan yang paling banyak adalah faktor masalah kejiwaan. Faktornya banyak juga. Tapi garis merah yang bisa ditarik dari semua motif bunuh diri adalah: kecewa pada diri sendiri (atau keadaan), dan tidak mampu (atau tidak mau) melakukan sesuatu untuk merubahnya. Ya udah, elo gue end.

Faktor-faktor pemicu bunuh diri

Konseptualisasi bunuh diri memang punya tempat spesial di hati saya. Sampai-sampai beberapa proyek kuliah saat saya masih mengincar gelar MFA di sekolah seni (yang, ehem, ngga selesai) kebanyakan bertemakan mortem sibi conscivit. Undergrad thesis saya juga membahas bunuh diri- judulnya The Significance of Freeter Label Towards Anthropophobia Experienced By the Main Character as Seen in Osamu Dazai’s No Longer Human. Disitu saya membahas bagaimana tekanan sosial atas standar hidup yang tinggi pasca pengeboman Jepang di Perang Dunia II sangat memengaruhi Yozo sang karakter utama untuk mengakhiri hidupnya (lalu beberapa tahun kemudian Osamu Dazai si author No Longer Human mengakhiri hidupnya dengan cara yang sama- membunuh kekasihnya, menggendong mayatnya lalu menceburkan diri ke sungai).

Ini ngomongin soal Jepang dulu. Fakta menarik dari peradaban Timur Jauh yang serba tertata dan orang-orangnya sangat kelewat sopan dan pekewuhan ini adalah: angka bunuh dirinya sangat tinggi (2 per 10,000 orang per tahun). Bahkan ada sebuah distrik di kaki gunung Fuji namanya Aokigahara (literally “sea of trees”) yang dijadikan tempat favorit bunuh diri di Jepang. Sampai-sampai di beberapa spot favorit buat bunuh diri, pemerintah setempat memasang rambu-rambu yang mengajak para calon suicidee agar memikirkan ulang apa yang akan diperbuat disitu, beserta nomor telepon suicide hotline.

Terjemahan: "Sing uwis yo uwis, Dik. Sini pangku Om :3"

Lagi-lagi Jepang dan lagi-lagi fakta menarik. Saya suka dengan budaya pop Jepang. Saya sering menonton anime dari berbagai genre di waktu senggang. Saya sudah khatam baca manga DBZ, Naruto, Homonculus, Death Note, Fullmetal Alchemist, dan banyak lagi. Saya juga seorang Gunpla builder. Saya menjadikan Advantage Lucy, Spangle call Lilli line, Matryoshka dan Kashiwa Daisuke sebagai playlist wajib saat bekerja. Kenapa saya segitunya suka sama produk budaya pop mereka? Karena, karya-karya mereka distinctive. Nggak ada duanya. Kadang juga sampe sekarang masih wondering, “eh kenapa ya mereka imajinasinya bisa seliar itu? Dari mana coba ilhamnya?” Bayangin deh, contoh: Inuyasha. Dia siluman setengah manusia setengah anjing hasil perkawinan silang dari seorang perempuan biasa dengan seorang jenderal dari underworld- setan anjing raksasa (udah setan, anjing pula). Bayangin dari mana datangnya ilham seorang Junji Ito sehingga bisa menciptakan banyak manga horror yang membuat saya nggak bisa tidur berhari-hari setelah membacanya. Bayangkan pula bagaimana seorang Tomoyuki Tanaka memetaforakan bom atom Nagasaki dan Hiroshima menjadi karya epic Godzilla. Porn industry mereka juga cringeworthy kan buat kita? I mean, lots of sex toys, bukakke and tentacles? Dafuq!

Salah satu panel manga horror Tomie karya Junji Ito

Saya punya hipotesa sendiri: mereka hidup di kultur dan etika yang standarnya sangat tinggi. Kerja di perusahaan multinasional atau memulai bisnis besar menjadi standar kesuksesan mereka- pait-paitnya ya jadi salaryman lah. Hidup serba teratur, serba rutinitas. Order, order dan order- yang seolah-olah nggak diberi ruang untuk mengejawantahkan chaos dalam diri masing-masing. Sehingga, output dari chaos yang dipendam itu kemudian diproyeksikan secara kreatif menjadi karya-karya yang saya sebutkan diatas tadi. Imajinasi orang-orang yang secara mental tertekan. Mereka menjadi “gila” dan “nggak masuk akal” lewat karya-karya mereka agar tetap waras. Demografis penikmat kultur pop Jepang kebanyakan ya sama-sama orang Jepang. Orang yang sama-sama terjebak dalam dunia yang standar sukses kehidupannya tinggi dan serba teratur. Orang non-Jepang yang menikmati kultur pop Jepang dianggap aneh dan kekanakan di lingkungannya sehingga muncullah istilah-istilah yang mendiskreditkan mereka, seperti term weaboo.

For Japanese people: some are the luckiest- to be able to channel their “madness" into works of art. Some are quite lucky- to be able to enjoy the “madness" as the audiences. Some are just unlucky- to be drawn into “madness” and overwhelmed by it, then choose to kill themselves.

Yang diluar Jepang ada pula contohnya. Lagi-lagi comic artist sih: Jerry Siegel dan Joe Shuster. Mereka berdua adalah pencipta karakter komik paling populer sedunia: Superman. Sungguh sial, Siegel tumbuh besar di keluarga imigran Yahudi asal Lithuania pada saat rezim Hitler mendunia- opresi terhadap kaumnya kebangetan banget. Jauh lah kalau dibandingkan opresi terhadap Ahmadiyah atau Syiah di Indonesia saat ini. Mereka diburu, haknya ditelanjangi, lalu dibantai secara keji. Karena terus ditekan dan stres, bunuh diri di kalangan kaum Yahudi baru ngehits pas saat itu (Jews punya banyak kenangan pahit soal mass suicide. Please see Siege of Masada, York Castle incident, or many references regarding Hitler-related Holocaust movement). Siegel dan Shuster bisa saja ikut-ikutan bunuh diri. Nothing to lose juga toh kalau hidup, opresi Yahudi ada dimana-mana. Tapi mereka terselamatkan oleh imajinasi. Mereka membuat sebuah karakter fiktif yang sangat bertolak belakang dengan kondisi kaum Yahudi: Kal-El, sang Superman dari planet Krypton. Populer dengan nama bumi Clark Kent, doi punya otot dan kulit sekuat baja tahan peluru. Man of steel, they said. Lalu bisa terbang, matanya mampu melihat tembus pandang layaknya sinar X dan bisa memancarkan heatwave. Bisa bergerak secepat peluru pula. Karakter imajiner yang sangat kuat adiluhung, bertolak belakang dengan realita penciptanya. Superman adalah buah dari keputusasaan, lara, ketakberdayaan melawan yang tak bisa dirubah. Siegel dan Shuster menciptakan dunianya sendiri, yang kemudian menyelamatkan kewarasan mereka.

Superman first issue

Dari contoh-contoh diatas, sepertinya saya sudah bisa membuat bottom line: stres, merasa kualitas hidup dibawah ekspektasi masyarakat, dan terjebak dalam rutinitas bisa menghadirkan ide atau emosi sesaat yang konsekuensinya permanen: bunuh diri. Saya mengalaminya sendiri. Ini serius. Jadi, setelah anak kedua saya lahir, hampir di saat yang bersamaan saya mendapat promosi jabatan sebagai project manager di kantor saya yang sekarang. Workloadnya? Tepokjidat-worthy deh. Lalu si nanny keluar- this was the point when all hell broke lose. Semua pattern dalam hidup kacau. Saya kerja dari jam 10, kelar baru bisa jam 10-11 malam gara-gara ikut ngurusin anak. Nggak tega menyerahkan semuanya ke istri. Well, tahu sendiri kan menyusui itu melelahkan (uhm, saya ngga tahu sih benernya secapek apa. Tapi dari literatur yang saya baca, ibu menyusui selama 20 menit itu capeknya setara dengan mild-jogging keliling lapangan bola 2 kali). Tapi pada saat yang bersamaan, saya merasa bersalah sama kantor sudah ninggal kerjaan berjam-jam. Pas pengen konsen kerja, saya gantian ngerasa bersalah dan ngerasa gagal menjadi seorang bapak dan suami yang baik karena mengabaikan keluarga demi konsen kerja. Anak-anak nangis while istri saya tepar habis ngasih ASI. Terus kalau sudah gini, saya jadi uring-uringan sendiri. Kerjaan kelar, saya harus begadang sampai jam 2-3 pagi karena anak saya yang pertama itu agak antik- sebelum tidur ada aja maunya. Paginya saya harus bangun untuk memandikan anak lalu mengantar terapi.

Untungnya, istri saya bisa channeling stres dengan charity project doi (Rumah Ramah Rubella) dan blogging. Lha saya? Nintendo 3DS saya sudah jamuran kali ya ngga pernah dimainin. Gundam berboks-boks nganggur di lemari. Saya sudah nggak ada niat buat menyelesaikannya. Kamera juga saya jualin satu persatu. Padahal Gundam dan kamera itu adalah katalis saya untuk stay sane. Tapi entah kenapa waktu itu kok rasanya kehilangan minat. Lalu muncul pemikiran negatif: am I worth living? Apa iya hidup saya cuma begini-begini saja? Kalo saya mati, orang-orang bakal kayak gimana ya? Caranya mati yang enak kayak mana sih? Diikuti dengan pengharapan tiap business trip saya ke Jakarta, saya berdoa (entah kepada siapa) agar pesawat yang saya tumpangi jatuh. Tiap naik taksi, saya berharap semoga ada truk bermuatan asam hidroklorik 5000 liter menabrak saya.

Tapi saya sadar sepenuhnya itu hanyalah pemikiran bodoh sementara. I believe eventually time heals almost everything (except dinosaurs. Time cannot bring back dinosaurs organically. Remember that). Dan benar saja, dengan bermodalkan keyakinan bahwa semua kemelut akan berakhir, saya mulai menemukan ritme untuk mengakali stres saya. Sehabis anak-anak tidur, saya dan istri menyempatkan diri untuk membahas apa saja yang sekiranya tidak menambah beban pikiran. Kadang tiba-tiba dansa di ruang makan diiringi acapela dari mulut kita bersenandung lagu FUN yang We Are Young, lalu cekikan bersama. Jurus paling jitu adalah menonton fail compilation di YouTube. Ya, saya adalah orang jahat yang suka menertawakan penderitaan orang lain. Kidding lol. But seriously, stupid people are so effin’ hilarious. Saya juga mencoba untuk lebih rutin menulis kreatif saat senggang, atau belajar hal baru yang berguna untuk pekerjaan.

Saya belajar bikin mockups dan prototyping aplikasi mobile. Sebelumnya saya sama sekali nggak bisa. Ini pekerjaan yang SUPER FUN!

To sum up, kalau stres, jangan sia-siakan waktu kamu untuk mengasihani diri sendiri. Take a break. Jangan sampai pekerjaan mengambil alih priortas (well, ini subjektif juga sih. Mungkin bagi yang belum berkeluarga, karir masih menjadi prioritas). A job is just a job anyway. Channeling juga penting banget sih menurutku. Lemparkan stres kamu ke sesuatu yang membangkitkan sisi kreatifmu. Berkebun, memasak, menulis, gambar, belajar coding, olahraga, apa aja deh as long as it can lift a little burden on your shoulder. Gabung ke charity project juga  bisa channeling stres- it will make you less lonely, and doing something good will make you feel good as well.

Mak jleb

Kalau semua itu masih belum mempan, ya sudah. Sepertinya kutipan dari Bill Gates diatas bisa menyadarkan.

Tabik!