Tuesday 24 September 2013

Tato Itu Nggak Sangar. Tato Itu Sentimentil.

Halo!!

Berjumpa lagi dengan salah satu penny ante via tulisan saya. Kali ini saya ingin membahas pengalaman saya circa Maret 2013 lalu, dimana dokter bedah internis menemukan ada yang aneh dengan pantat saya... Ya, saya menderita internal hemerrhoid (sok keren nih, padahal ini cuma istilah kedokteran dari wasir). Tapi, bukan itu permasalahannya. Sewaktu dilakukan colonoscopy, tidak hanya wasir yang lumayan gemuk ditemukan di pantat saya. Diketemukan polip juga. Polip inilah yang jadi perhatian ekstra si dokter bedah internis. Doi takut kalau polip ini bisa memicu kanker usus besar kalau dibiarkan. Langsung saja si dokter menjadwalkan operasi pengangkatan polip itu segera. Lemas tak berdaya saya meratapi kebodohan masa lalu dimana saya mengkonsumsi mi instan nonstop selama 1 tahun saat sibuk mengerjakan skripsi S1 dulu -- dan inilah penyebabnya, disamping kurangnya olahraga dan konsumsi serat. Ya sudahlah. Mau gimana lagi?

Hari menjelang pengangkatan polip hampir tiba. Saya memilih rumah sakit di dekat UGM, karena asuransi saya hanya mau mengkover biayanya jika saya melakukan operasi di rumah sakit itu. Tidak rugi sih, secara rumah sakit itu reputasinya sangat baik. Sewaktu saya mengantri di ruang tunggu, tidak sedikit mata yang melihat saya dari ujung rambut sampai ujung kaki karena tato saya. Mulai dari pasien lain, pengunjung, suster, dokter, dan sebagainya. Untuk hal ini saya sudah terbiasa, dan saya cuek saja. Lalu pengalaman kurang mengenakkan datang saat saya dibawa di ruang steril pra-opname. Saya diminta melakukan prosedur standar sebelum operasi. Pertama, rontgen thorax. Di ruang radiologi, saya dilayani oleh seorang suster cewek muda. Saya disuruh melepaskan baju. Pada saat si suster lihat seluruh tato saya, doi kaget terus nyeletuk, "Mas, tatoan banyak gitu, bisa kerja apaan?" Saya kaget. Lha kok si mbak ini prejudis sekali, ya? Mentang-mentang saya tatoan terus doi ngira saya ini pengangguran, gitu? Saya sempat diam, lalu menjawab, "Marcomm, mbak." -- memang kebetulan pada saat itu saya bekerja sebagai marcomm manager di salah satu institusi pendidikan swasta di Jogjakarta. Respons yang saya terima dari si mbak suster itu lebih mengejutkan lagi. Doi bilang, "Nggak mungkin! Masa' tatoan kerjanya marcomm sih mas?" Karena rada dongkol, saya jawab aja, "Karepmu, mbak. Ngandel kena, ora ya kena." (arti: terserah mbak boleh percaya apa nggak).

Tahap kedua, saya disuruh MRI. Saya disuruh telanjang lagi. Kali ini mas-mas berdagu runcing dan berkacamata tebal yang menemani saya di ruangan. Lagi-lagi, begitu saya buka baju, si mas ini bilang, "Wah ati-ati ada preman!" Disambung tawa dari staf-staf ruang radiologi. Doi nambahin, "Mas, sering malak di terminal mana?" Again, saya dihakimi dari penampilan. Karena malas menanggapi, saya hanya senyum kecut saja, lalu menyuruh masnya untuk segera bekerja.

Saya masuk ruang operasi di hari kedua opname setelah melalui diet dan body treatment pra-operasi. Di ruang steril, saya diberitahu tentang teknik bius yang akan digunakan yaitu dengan memberi epidural untuk melumpuhkan bagian tubuh dari perut kebawah. Sedangkan perut keatas tidak dibius total, hanya diberi sedatif melalui infus. Yang tidak diberitahu adalah cara memasukkan epidural ke tubuh saya. Tulang punggung saya dilubangi di empat titik, lalu selang kecil dimasukkan lewat situ, barulah epidural dimasukkan lewat selangnya. Rasanya? Pernah digebuk pake baseball bat tepat di tengkuk? Saya pernah, dan rasanya jauh lebih sakit dari itu. Saya menjerit, menangis sejadi-jadinya. Sakitnya luar biasa. Disaat titik terlemah saya, suster-suster cowok malah memperlihatkan perlakuan yang kurang menyenangkan. Salah satu dari mereka bilang, "Walah mas, tatonya banyak tapi kok nangis. Payah nih." Seketika saya ingin mencak-mencak, ingin misuh-misuh, ingin menarik kateter saya lalu menjejalkannya ke mulut si suster itu... Tapi epidural bekerja cepat sekali. Saya tidur dengan nafas tersengal, lalu terbangun di elevator, disuguhi pemandangan paling indah di samping saya -- sang istri, dengan senyumnya. Dia berkata, "Operasinya sudah selesai. Sudah diangkat."

Saya diminta dokter untuk tinggal di rumah sakit sekurang-kurangnya seminggu, sekaligus menunggu hasil laboratorium apakah polip yang sudah diangkat berpotensi kanker. Seraya menunggu, tidak banyak yang bisa dilakukan. Bergerak aja susah. Di malam hari, jika efek morphine sudah habis, saya mencakar-cakar muka saya sendiri, mencabut infus, memaki -- karena sakitnya nggak ketulungan. Di hari ke-entah-saya-lupa, si dokter bedah internis masuk ke kamar saya ditemani seorang suster. Waktu itu saya dibawah pengaruh Ketesse 25 mg, ketawa-ketiwi sama istri. Tiba-tiba si suster menyuruh istri saya untuk keluar dengan nada setengah maksa. Istri saya kebingungan, saya juga nggak ngeh ada apa ini sebenarnya. Ternyata, si dokter meminta saya untuk menjalani tes HIV/AIDS dengan kerahasiaan terjamin... Heh?! Saya tanya kenapa, dokter jawab gara-gara saya punya banyak tato dan alasan medis blablabla saya tidak ingat detilnya. Itulah mengapa istri saya disuruh keluar. Lalu saya ngotot untuk melibatkan istri saya dalam percakapan ini karena dia berhak tahu. Setelah istri saya datang, saya menjelaskan kepada dokter sewaktu bikin tato ini saya sangat berhati-hati. Survey tempat, attitude si tattoo artist, alat-alat yang digunakan, dan sebagainya. Saya sadar kalau jarum tato bisa menularkan HIV, maka dari itu saya memilih tempat tato dan tattoo artist yang bener-bener bagus dan profesional. Dan atas pilihan saya tersebut, saya yakin kalau saya tidak terinfeksi HIV. Namun tetap saja, biar cepetan selesai urusan rumah sakit ini, saya iyakan saja permintaan si dokter. Hasilnya? Negatif.

Guwe bilang juga ape?!

Yang ingin saya garisbawahi dari serangkaian kejadian diatas, ternyata masih banyak orang-orang yang prejudis terhadap orang bertato. Di kasus saya, saya dianggap:

1. Pengangguran
2. Preman
3. Kebal rasa sakit
4. Mengidap HIV/AIDS

Di jaman sekarang, banyak segudang pekerjaan yang tersedia bagi semua orang. Saya kenal secara personal orang-orang bertato yang sukses (dalam segi finansial). Dan saya tidak pernah tahu ada koruptor yang bertato. Maksud saya, tato tidak bisa dijadikan patokan pekerjaan yang dilakoni oleh seseorang. Kalau sudah memasuki ranah pekerjaan yang dilihat toh profesionalisme kinerjanya. Untuk poin kedua dan ketiga, saya juga agak gemes dengan stereotipe preman lah, sangar lah, tangguh lah, jika kita memiliki tato. Saya bukan preman, saya nggak sangar, dan saya tidak tangguh dari segi fisik. Lalu kenapa dengan adanya tato di tubuh saya, orang-orang menganggapnya demikian? Alasan saya menato tubuh saya adalah, saya ingin mengabadikan kenangan, buah pikir, dan hal-hal sentimentil lainnya dengan media kulit dan tinta. Tato saya berupa Saraswati, boneka Benzaiten, anggrek hitam, lotus, bulan, ombak, pita magenta, dan mantra Mahamudra -- semuanya itu manifestasi dari rasa sayang saya terhadap Ibu. Cengeng banget kan alasannya? Lalu kenapa kebanyakan orang beranggapan bahwa itu semua sangar? Bukan cuma saya, banyak teman-teman yang membuat tato di tubuhnya dengan alasan yang sentimentil juga. Tato itu nggak sangar. Tato itu cengeng. Tato itu sentimentil.

Belakangan ini saya baru ngeh, ternyata stereotipe tentang orang bertato juga disuburkan oleh orang-orang bertato juga, terutama yang bertato untuk alasan fashion. Begini ceritanya. Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan ngobrol dengan teman kuliah yang sudah lama sekali tidak bersua, yang kebetulan juga bertato. Tahu saya memiliki tato, dia langsung tanya apakah saya punya anjing pitbull? Saya bilang tidak punya. Dia tanya lagi, apakah saya mengendarai muscle car? Saya jawab tidak. Lalu dia mengeluarkan pernyataan yang membuat saya bingung. "Kalau nggak punya pitbull, terus masih pake mobil MPV, kamu mending hapus aja tato kamu. Jiwamu belum genep kalau punya tato tapi ngga punya pitbull sama muscle car!" Ini apa lagi? Saya baru denger kali ini kalau punya tato harus punya sepaket anjing pitbull dan muscle car.

Hal senada juga dilontarkan oleh teman istri saya. Si temen istri itu tanya, apakah di Jogja ada yang berjualan pomade? Istri saya tidak tahu pomade itu apa, lalu tanya ke saya. Sebatas pengetahuan saya, pomade itu minyak rambut. Lalu si temen istri tanya, kalau di Jogja, belinya dimana. Berhubung saya tidak pernah pakai, otomatis saya tidak pernah tahu dimana bisa beli pomade. Si temen istri kaget, lalu bilang, "Suami kamu tatoan kan? Kok nggak pakai pomade? Wah, nggak afdol tuh! Hapus aja tatonya." Untuk kesekian kali saya disuruh menghapus tato karena suatu hal yang saya kurang sampai untuk memahaminya.

Apa ya kira-kira maksud dari dua pernyataan diatas tadi? Apakah sebagai orang bertato saya harus menjalani hidup ala rockabilly, mendengarkan paduan musik rock and roll dan country, memelihara anjing pitbull, dan mengendarai muscle car? Saya heran, apa kesan yang hendak dibangun atas pembatasan-pembatasan diatas? Apakah mereka merasa menjadi elitist setelah punya tato, lalu memaksakan gaya hidup meniru pendahulu mereka? Atau hanya karena alasan dangkal: ingin terlihat keren dengan mengikuti happening trend di kalangan orang bertato? Saya tidak tahu.

Memang, saya mendengarkan musik-musik rockabilly macam Gazzguzzlers atau The Stray Cats, namun saya mendengarkan Spice Girls atau Kate Nash tanpa rasa bersalah telah mengkhianati "kesangaran" tato saya. Saya meminum bir di teras rumah bersama istri dan teman-teman alih-alih nongkrong di bar penuh asap rokok. Saya mengendarai mobil MPV karena nyaman dan irit. Saya tidak memakai pomade karena rambut saya akan ketombean dan gatal-gatal jika memakai segala minyak rambut. Yang saya tahu, saya tidak merasa lebih sangar dari orang yang tidak bertato. Saya merasa setara.

Salam.

Monday 16 September 2013

Fotografi Monokrom

“When you photograph people in color, you photograph their clothes. But when you photograph people in Black and white, you photograph their souls.” -- Ted Grant.

Kutipan diatas mewakili semangat saya untuk lebih dalam mempelajari teknik memotret BW. Itulah mengapa hampir semua pameran fotografi saya baik tunggal maupun kolektif, semua presentasi akademik sewaktu saya masih kuliah di sekolah seni, kebanyakan memakai foto hitam-putih. Saya jatuh cinta dengan fotografi monokrom yang menggabungkan hitam dan putih dalam sebuah kontinum, memproduksi nuansa abu-abu. Fotografi ini mewakili semua aspek idealisme saya bahwa tiada di dunia ini yang serta-merta hitam atau putih. Semuanya abu-abu. Anti-Hero. Abu-abu adalah kejujuran mutlak diatas semua kemunafikan yang diklaim oleh hitam atau putih. Hitam bukanlah warna. Dia terlalu kompleks. Putih terlalu tamak -- dia adalah gabungan dari semua unsur warna. Abu-abu berdiri diantaranya.

Sedikit preview atas karya-karya saya yang saya ikutkan dalam kompetisi hore "31 Hari Memotret" yang diadakan oleh UKM Fotografi Universitas Sanata Dharma "Lens Club":


Memento Mori
We Own the Night
Food Anthem
To Whom It May Concern
Why Do I Love Black: It's Not a Color 
Comfort Zone
Drip Drop Teardrop
Dryggdrasil
Death Moves in Silence 
Photosensitive Ganglion Cells 
Blood
Slim, Laceless, Straps, Original
The Princess Wears Silver Armor
Hot One
Crystaline
Om Mani Padme Hum

Enjoy the photographs.
Salam!

NB: Jika ingin menggunakan foto-foto diatas, monggo silakan. Tapi ingat ya kita punya lisensi Creative Commons. Tidak perlu menyantumkan nama saya. Just acknowledge the fact that those photographs are mine.



The New Beginning

Halo!

Setelah sekian lama mencoba bikin blog, akhirnya kesampaian juga. Di blog ini, janganlah berharap yang muluk-muluk -- kamu mungkin berharap akan menemukan informasi yang berguna, atau sebangsanya. Kamu tidak akan menemukannya di blog ini. Sesuai dengan namanya, "Penny Ante", disini saya akan ngepost hal-hal yang penny ante. Hal-hal yang tingkat kepentingan atau value-nya sangat kecil. Namun, bagi saya, hal-hal kecil ini saya anggap berharga. Maka dari itu, kata "precious" saya tambahkan di depannya. Harapan bagi saya sendiri, dengan menghargai hal-hal remeh yang dianggap tidak penting, saya dapat lebih apresiatif untuk hal-hal yang kolosal.

Sebagai contoh, dua minggu lalu saya berkesempatan untuk mendaki Gunung Lawu lewat jalur Cemara Sewu yang terjalnya masyaallah. Dari awal pikiran saya selalu saja terisi oleh bagaimana megahnya pemandangan diatas puncak, bagaimana rasa bangga yang saya dapat saat berhasil naik ke pos akhir. Karena saya mulai naik pas malam hari, sama sekali tidak terbesit di benak bahwa ada ribuan bintang diatas menemani saya untuk menuju ke puncak. Bintang-bintang kecil yang diantaranya tak kasat mata. Sewaktu sadar, saya mencoba memperhatikan bintang-bintang tersebut. Ternyata konstelasi yang terdiri dari bintang-bintang kecil itu membentuk panorama mahadahsyat yang akan sayang jika terlewatkan oleh kamera. Saya coba untuk mengambil gambar. Ini salah satu hasilnya:

Milky Way di pos 3 Lawu. Diambil pukul 11:30

Dengan eksposur 30 detik, secara perlahan cahaya bintang-bintang tersebut mengisi sensor kamera. Saya terkesima dengan hasil jepretan saya sendiri (#yek). Ternyata, hal-hal kecil dapat menjadi satu kemegahan yang tidak kalah dengan satu hal besar jika kita memberi mereka kesempatan untuk diamati lebih dalam. Pada pendakian itu, saya tidak berhasil sampai puncak. Saya berhenti di pos 4, melongoh sampai masuk angin melihat konstelasi bintang yang begitu indahnya. Saya mengabaikan gambaran hal besar yang dijanjikan di puncak dan membiarkan diri terhenti di pos 4 karena hal kecil (bintang) yang menurut saya jauh lebih indah.

Mungkin itulah topik yang akan saya tulis di entri blog ini selanjutnya. Hal remeh-temeh. Mungkin saya akan menulis pengaruh fluktuasi harga tempe atas naik turunnya mood istri saya (lho?). Mungkin saya akan menulis tentang musik sidestream, tentang pameran seni media baru, tentang fotografi, tentang komik Amrik, anime, manga (termasuk hentai), tentang bahasa, tentang imajinasi liar jamur goyang bertabur kaleidoskop, tentang fatherhood, tentang apa saja -- hal-hal kecil yang melintas singkat di kehidupan saya.

Demikian posting pertama blog ini. Tunggu entri selanjutnya.

Salam.