Monday 7 October 2013

21 Memo Dari Anakmu


"If there is anything that we wish to change in the child, we should first examine it and see whether it is not something that could better be changed in ourselves." -- Carl Gustav Jung.

Mom, my sister, me, and my brother

Halo!

Penny ante kali ini akan saya isi dengan sebuah pengalaman saya (dan keluarga) yang sangat berharga, yang membuat saya berpikir bahwa fondasi perilaku pada anak berakar dari cara kita memperlakukan mereka, serta pentingnya komunikasi yang baik dalam sebuah keluarga.

Mungkin bagi kalian yang mengenal saya dan keluarga secara pribadi akan tahu persis bagaimana keadaan rumah saya setelah tahun 2008 -- banyolan konyol dari Ayah, paksaan non-stop Ibu untuk menghabiskan makanan di rumah, keramah-tamahan Kakak, atau momen hangat saat berbagi cerita lucu dengan Adik (yang akan membuatnya tertawa sangat kencang seperti seorang barbarian). Namun sebelum itu, keadaan keluarga saya jauh dari imaji-imaji diatas.

Waktu tepatnya saya agak lupa, pokoknya kisaran tahun 2007-2008. Itu saat dimana orangtua saya sering sekali bepergian untuk urusan pekerjaan -- baik di dalam maupun luar negeri, Kakak sedang bingung mencari kerja, saya juga stres dengan urusan kuliah yang tak kunjung usai, dan Adik yang saat itu bersekolah di Surabaya juga sedang ada masalah pribadi. Keadaan pelik namun tak kasat mata memuncak disitu dan kita sadar akan sesuatu: keluarga kami tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Ya, mungkin ini masalah sepele, tapi imbasnya begitu besar. Kealpaan komunikasi yang baik di rumah membuat kami memendam energi negatif tersebut diam-diam dan dalam jangka waktu yang lama. Mungkin diantara saya, Kakak, dan Adik tidak ada masalah yang begitu berarti. Tapi, saat berhadapan dengan orangtua, NAH! Pilar-pilar komunikasi yang sehat menjadi hancur berantakan. Energi negatif yang terpendam begitu lama oleh satu anggota keluarga dimanifestasikan menjadi sesuatu yang kurang disenangi oleh anggota keluarga yang lain. Jika ada suatu masalah, Ayah kemudian menjadi cepat marah, Ibu gampang menangis, Kakak jadi sangat cuek, Adik jadi pasif-agresif, dan saya jadi nggak pernah betah di rumah, kelayapan tiap malam.

Sadar akan hal ini, Ayah-Ibu saya menceritakan permasalahan kami ke tante saya yang ada di Surabaya (doi juga host-nya adik saya selama sekolah disana). Beliau ini adik Ibu saya, yang sudah kami anggap "mama kedua" karena cuma Tante ini yang bisa menjembatani komunikasi antara kami bertiga (saya, Kakak, dan Adik) dan orangtua. Dari beliau, kami dianjurkan untuk menemui seorang psikiater kawakan di Surabaya, namanya dr. Tuty Herwini, SpKJ. Doi praktek di RSAL Ramelan Surabaya, tapi juga buka praktek di rumah (daerahnya mana saya lupa). Karena keterbatasan jarak dan waktu, Ayah-Ibu saya menjadwalkan untuk terapi keluarga di rumah doi dengan membuat perjanjian terlebih dahulu. Pada awalnya, saya menolak mentah-mentah ide ini. Saya ngomong ke Ibu, "saya itu nggak sakit jiwa, kok disuruh datang ke dokter spesialis kejiwaan?!" Namun, setelah diberi pengertian oleh Bu Dokter bahwa penyakit kejiwaan belum tentu afirmasi dari gila -- phobia, kecemasan berlebih, ataupun sering mimpi buruk dapat juga dikategorikan sebagai penyakit kejiwaan -- saya kemudian mengiyakan. Lalu kami berlima diberi satu modul yang tebalnya minta ampun. Di sampul modul ada tulisan MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) yang berisi ratusan pertanyaan remeh dan repetitif, yes-no question, asosiasi simbol, dan selebihnya contoh kasus perilaku untuk mengetahui indeks kepribadian kami. Dokter bilang, modul ini harus dikerjakan sejujur-jujurnya, nggak usah pakai mikir panjang. Kami diberi waktu kurang lebih 2 jam untuk mengerjakannya, dan dilanjutkan dengan sesi wawancara satu persatu.

Selesai mengerjakan, muncullah hasilnya. Baik saya, Kakak, Adik, Ibu, maupun Ayah mendapat nilai yang nyaris sempurna di bagian moral. Itu artinya, kami sekeluarga masih bisa memegang dengan baik norma sosial yang ada di masyarakat. Namun, penjelasan Bu Dokter selanjutnya bikin kita menelan ludah. Dari tes tersebut, masing-masing anggota keluarga memiliki masalah, diantaranya: kurangnya kontrol terhadap emosi, terlalu mudah memaafkan, sulit untuk ikhlas, masokis, sangat tidak percaya diri, dan potensi sociopath. Siapa mengidap apa, saya tidak mau menjabarkannya disini. Intinya, we were fucked up. Akar dari semua "penyakit" itu adalah komunikasi antar anggota keluarga yang tidak baik. Masing-masing memberi makan egonya dengan menghindari masalah primordial yang menyebabkan membengkaknya "borok" yang diperban dengan manis selama ini.

Dokter Wien (begitu kami memanggilnya) menjadwalkan untuk terapi rutin secara intens sebanyak 10 sesi. Tiap sesi diberi jeda 1 bulan. Metode yang dipergunakan adalah hipnoterapi. Sesekali Bu Dokter memberikan resep obat antidepresan macam Frixitas dosis rendah untuk saya yang memang memiliki kecemasan berlebih sejak kecil (ditandai dengan keluarnya keringat dari telapak tangan terus menerus). Saat menjalani hipnoterapi, kami diberi sugesti positif. Di waktu sesi hipnosis personal, saya tidak merasa aneh atau takut. Saya hanya dibimbing melalui suara-suara Bu Dokter. Memang terasa mengantuk dan saya memang diharuskan untuk memejamkan mata, tapi suara doi masih terdengar sangat jelas. Saya "diajak" berkelana ke masa kecil saya dimana doi memperkirakan saya mengalami trauma masa lalu. Kemudian saya disuruh mempersonifikasikan memori tersebut sebagai manusia. Saya disuruh ngobrol sama memori itu. Ngobrolnya nggak lama, cuma basa-basi saja macam "apa kabar" dan lain lain. Saya lalu disuruh untuk berpamitan dan tidak menoleh ke belakang. Selanjutnya, saya merasakan tepukan halus di lengan saya, yang menandakan untuk segera membuka mata. Begitu bangun, saya tidak merasakan perubahan apa-apa. Namun, saat saya diajak bicara oleh Bu Dokter, saya terus melakukan eye contact dengan Bu Dokter. Tidak, saya melakukan eye contact dengan siapa saja yang mengajak saya bicara. Suatu hal sepele yang tidak pernah bisa saya lakukan sebelumnya. Saya merasa menjadi pribadi yang lebih baik setelah itu: jam biologis saya lebih teratur, saya bisa berbicara mengenai apa saja kepada Ayah-Ibu, yang otomatis membawa komunikasi keluarga kami yang sebelumnya bermasalah ke tahap yang lebih baik. Tidak hanya saya yang berubah, semua anggota keluarga merasakan hal yang sama. Ayah jadi lebih sabar, Ibu lebih bisa outspoken, Kakak nggak cuek lagi, dan Adik jadi pribadi yang bisa diandalkan.

Sejak saat itu, kami selalu bisa menghalau permasalahan-permasalahan yang muncul dengan baik. Tidak ada lagi sakit hati yang dipendam, semuanya dikomunikasikan dengan suasana nyaman dan kondusif. Kami menjadi lebih menyayangi dan mendukung satu sama lain. Di sesi terapi terakhir, teras rumah Bu Dokter diisi dengan tawa kami. Kemudian, Bu Dokter memberikan selembar fotokopian yang berisi poin-poin berbahasa Inggris. Bu Dokter bilang, "Ini ada sedikit wejangan dari entah siapa, anonymous. Dibaca, ya. Jangan sampai kesalahan yang dulu-dulu terulang lagi pas besok kamu-kamu (saya, Kakak, dan Adik) udah punya keluarga sendiri."

Ini kira-kira terjemahan selebaran dari Dokter Wien:


21 MEMO DARI ANAKMU

1. Jangan manjakan aku. Aku cukup tahu bahwa aku tidak harus memiliki semua apa yang aku minta. Aku hanya mengujimu.

2. Jangan ragu-ragu untuk bersikap tegas denganku. Aku lebih menyukainya, karena itu membuatku merasa lebih aman.

3. Jangan membiarkanku melakukan kebiasaan buruk. Aku harus mengandalkanmu untuk mengetahui baik atau buruknya sesuatu hal di awal-awal kehidupanku.

4. Jangan membuatku merasa kecil. Itu hanya akan membuatku bertingkah dan berusaha untuk "besar" – dengan bodohnya.

5. Kalau bisa, jangan memarahiku di depan banyak orang. Aku akan lebih memperhatikanmu jika kamu berbicara secara halus dan personal.

6. Jangan membuatku merasa bahwa kesalahanku adalah suatu dosa. Hal ini akan mengacaukan batasanku tentang nilai-nilai kehidupan.

7. Jangan lindungi aku dari konsekuensi. Kadang-kadang aku juga perlu belajar dari rasa sakit.

8. Jangan marah saat aku bilang, "aku benci kamu.” Bukanlah kamu, namun kuasamu yang mencegahku melakukan sesuatu, itu yang aku benci.

9. Jangan terlalu menganggap serius penyakit sepele yang aku derita. Kadang-kadang itu hanyalah caraku untuk mendapatkan perhatian lebih darimu.

10. Jangan menjadi menyebalkan dengan mengulang-ulang perkataanmu. Jika kamu melakukannya, aku akan melindungi diriku sendiri dengan berpura-pura tuli.

11. Jangan lupa bahwa aku tidak bisa menjelaskan hal-hal yang kuperbuat dengan baik. Itulah mengapa aku tidak selalu benar dalam menjelaskannya.

12. Jangan membuat janji-janji palsu. Ingat! Aku akan sangat sedih jika janji-janji itu tidak ditepati.

13. Jangan terlalu menuntut kejujuran dariku. Aku sangat mudah berbohong jika ketakutan.

14. Jangan plin-plan. Itu akan membuatku bingung dan rasa percayaku padamu akan hilang.

15. Jangan anggap ketakutanku adalah sesuatu yang bodoh. Ketakutanku benar-benar nyata, dan kamu akan membantuku menghilangkan ketakutanku jika kamu mencoba untuk mengerti.

16. Jangan mengabaikanku jika aku bertanya tentang sesuatu. Jika kamu mengabaikanku, akan berhenti menanyaimu dan mencari tahu jawaban pertanyaanku pada orang lain.

17. Jangan pernah menganggap bahwa kamu sempurna dan tidak pernah salah. Hal tersebut akan mengakibatkan guncangan pada diriku, jika kelak aku tahu kamu tidak sempurna dan pernah berbuat salah.

18. Jangan pernah mementingkan harga diri saat minta maaf padaku. Permintaan maaf yang jujur akan membuatku hormat padamu.

19. Jangan lupa, aku akan tumbuh besar dalam sekejap mata. Bagimu mungkin akan sangat sulit untuk menuntun langkahku. Namun kumohon, cobalah.

20. Jangan lupa, aku suka bereksperimen dan mencoba hal-hal baru. Aku tidak bisa berkembang tanpanya. Jadi kumohon, bantulah aku.

21. Jangan lupa, aku tidak bisa tumbuh kuat tanpa cinta dan pengertian darimu. Namun, aku tidak perlu mengatakannya padamu, bukan?

--

Setelah membaca 21 poin tersebut dan dari sesi-sesi hipnoterapi, saya menarik kesimpulan. Ternyata trauma-trauma kecil di masa lalu atau pengalaman kurang menyenangkan dari orangtua yang sering dianggap sebagai angin lalu, dapat berimbas besar di kemudian hari. Saat ini saya sudah menjadi seorang ayah. Saya tidak ingin anak saya mengalami hal-hal buruk yang terjadi dalam keluarga yang pernah saya alami dulu. Dari uraian diatas, saya juga menyadari sesuatu. Mungkin kelak ada masanya anak saya menjadi nakal. Mungkin juga saya akan melakukan mekanisme pembelaan diri dengan melontarkan pernyataan "namanya juga masih anak-anak." Namun kenyataannya tidak begitu. Sikap itu secara tidak sadar akan terbawa sampai doi dewasa kelak, entah implementasinya terlihat secara konstan ataupun muncul sesekali, kemudian tenggelam, dan muncul lagi dengan dahsyatnya seperti yang terjadi pada keluarga saya.

Salam.

2 comments:

  1. No 1, 2, 3, 7, 12. Note to yourself.

    ReplyDelete
  2. cerita yang menarik sekali, mas adit. terima kasih sudah berbagi. :)

    ReplyDelete