Wednesday 13 November 2013

Am I Wry? No.


"I put up a huge wall of denial. It was years before I was able to break through it... accepting that your child has a disability, especially one that cannot be seen or easily diagnosed, is one of the hardest things to come to terms with." -- Anne Ford.

Halo!

Sudah lama saya tidak menulis blog ini. Apa lagi alasannya kalau bukan "sibuk", "nggak sempet", "capek" and whatnot. Memang akhir-akhir ini saya disibukkan dengan dibukanya kantor baru tempat saya bekerja. Otomatis saya sudah tidak bisa remote working lagi. Mana jarak dari rumah ke kantor sangat jauh. Rumah saya di pinggiran, sedangkan kantor di downtown. Nah, mumpung ada waktu nih, saya pengen nulis penny ante. Ini alurnya mengalir aja ya. Saya cuma menulis apa yang ada di pikiran. Nggak sempet bikin kerangka terlebih dahulu.

...

Ibu saya sudah menunjukkan tanda-tanda penuaan yang signifikan. Beliau sudah tidak segesit dulu. Setiap saya mampir ke rumah doi, selalu saja Ibu sudah tidur. Ibu juga sering mengeluh ke saya kalau dia sekarang gampang capek. Dia juga bilang udah nggak sanggup menangani usaha doi seorang diri. Ditunjuklah saya untuk mengurusi salah satu bisnis beliau: kost cowok yang ada di bilangan Babarsari. Jadi, Ibu sudah nggak mau tau lagi kalau-kalau ada penghuni yang komplain tentang wc mampet, air tidak bersih, internet lemot, dan sebagainya -- sayalah yang harus mengurusi semua itu. Nanti setiap ada pemasukan, hasil bersih setelah dipotong biaya operasional akan saya bagi dua. Satu bagian masuk kantong saya, lainnya buat Ibu.

Rumah kost kami buat sengaja meniru struktur penjara panopticon. Bentuk U dan ada rumah induk di tengah, dengan maksud untuk memudahkan pengawasan. Maklum, daerah kost ini sering banget ada ribut-ribut yang menggadang isu rasisme dan chauvinisme kedaerahan. Ada satu keluarga yang saya pasrahi untuk menjaga stabilitas rumah kost tersebut. Sambil menyelam minum air, mereka diijinkan oleh Ibu untuk membuka warung makan di dalam area kost. Pada suatu malam, tibalah jadwal saya untuk menagih uang kost yang sudah jatuh tempo. Di sela penghitungan uang, si ibu dari keluarga tersebut (let's say Bu B) nyeletuk tanya perihal anak saya, "Gimana kabar Aubrey? Sehat-sehat saja, kan?" Saya tahu doi cuma basa-basi mengingat doi tahu persis bagaimana keadaan anak saya. Aubrey tidak sehat. As always. Dengan maksud memberi angin positif di pembicaraan, saya jawab, "Puji Tuhan baik, Bu. Sekarang sudah bisa ngoceh sejak pakai alat bantu dengar." (PS: anak saya terkena congenital rubella syndrome. Kalau pengen tahu lebih lanjut, silahkan mampir ke blognya Aubrey yang dibuat oleh istri saya). Lalu, out of the blue, Bu B menanyakan satu kalimat tanya yang membuat pikiran saya melayang... "Mas Adit, malu nggak sih punya anak cacat seperti Aubrey?"

And, DAFUQ moment occured.

Saya terdiam. Saya bingung, antara meragukan keseriusan pertanyaan Bu B dan apa yang sebenarnya saya rasakan terhadap keadaan anak saya. Saya terus terdiam, lalu pikiran saya mengawang membentuk imaji Aubrey yang sedang tertawa cekikikan disaat dia dimandikan, atau gerutu imutnya saat dia digoda maminya. Sepersekian detik, saya menelaah pikiran saya sendiri. Apakah saya malu?

Tidak. Saya tidak malu. Sedih? Iya sedih. Tapi tidak malu. Ingin rasanya saya memberondong pertanyaan ke Bu B, "Kenapa mesti malu?" Baiklah, anak saya memang terlahir tidak sempurna. Namun tidak satu detikpun dalam kehidupan berkeluarga, saya dan istri merasa malu punya Aubrey. Itu darah daging saya sendiri. Beda perkara kalau Bu B bertanya, "Sedih nggak Mas punya anak dengan keadaan seperti Aubrey?" Percayalah, Bu B, dalam kurun berbulan-bulan setelah tahu Aubrey mengidap CRS, tidak satu malam pun saya lewatkan tanpa menangis. Tidak satu malam pun saya lewatkan mengutuk dan membenci Tuhan. Juga saat melihat hasil-hasil test lab maupun konsultasi dokter, tidak satu pun perjalanan terlewati tanpa isak tangis kami berdua di dalam mobil sambil memeluk erat Aubrey dengan penuh keputusasaan. Kami sangat sedih. Saking sedihnya, saya dan istri sering sekali bertengkar, saling menyalahkan, karena kami sudah kehabisan bahan apa dan siapa untuk dipersalahkan. Karena depresi, saya kembali merokok setelah sekian lama berhenti. Dulu saya berpikir bahwa dunia ini indah dan hanya orang bodohlah yang memutuskan untuk bunuh diri. Pada saat itu saya bisa berempati pada korban bunuh diri. Saya menemukan sejuta alasan untuk mengakhiri hidup saya. Saya secara tiba-tiba mengubah point-of-view terhadap dunia. Dunia ini tidak indah. Dunia ini kejam. Dan tidak adil.

Setelah melalui aral lintangan dan penstabilan emosi, saya dan istri memutuskan untuk berdamai dengan keadaan. Tidak mudah memang. Istri harus keluar dari pekerjaan untuk bisa konsentrasi mengurusi Aubrey. Saya harus menjual supermoto Kawasaki kesayangan, koleksi vinyl dan CD musik langka dan seperangkat peripheral kamera untuk biaya terapi dan obat. Kami harus memutar otak untuk menghasilkan uang lebih karena Aubrey ini anak mahal -- biaya yang harus kami keluarkan untuk perawatan doi nggak sedikit dan perusahaan asuransi tidak mau mengkover biaya kesehatan kliennya yang terkena CRS seperti Aubrey dengan alasan pre-existing condition. Istri kemudian punya ide untuk membuat bando bayi untuk dijual via online. Tidak jarang dia melewatkan malam tanpa tidur. Kecapekan. Konstruksi sosial yang nggak biasa melihat anak berkebutuhan khusus di tempat umum juga sempat nempeleng kita. Jadi ceritanya, di hari Minggu saat kita belanja bulanan di supermarket, ada satu ibu muda menggandeng anaknya. Kita berpapasan di satu lorong bagian makanan instan. Ibu itu melihat Aubrey yang memakai alat bantu dengar dengan penuh keheranan, kemudian doi ngomong ke anaknya, "Lihat tuh dek ada anak cacat. Kasihan ya?" -- dan banyak lagi contoh perilaku pengkerdilan terhadap Aubrey di masyarakat yang harus kita hadapi. Ditambah pula, hidup berkeluarga dengan anak berkebutuhan khusus tanpa didampingi PRT sungguh bukanlah hal mudah untuk dijalani. Bayangkan saja, saya harus bekerja dari pagi hingga sore. Begitu pulang ke rumah, saya tidak sempat untuk leyeh-leyeh dan mengeluh perihal pekerjaan yang numpuk. Saya mandi, bersiap untuk mengantar Aubrey fisioterapi. Sepulang fisioterapi, saya biasanya beli makanan yang baru bisa disantap rata-rata lewat jam 11 malam. Dan hal ini terjadi 3 kali dalam seminggu, mulai dari Aubrey berumur 6 bulan sampai entah kapan. Kehidupan sosial? Tidur setelah ngantor? Itu semua menjadi barang mewah bagi kami. Olahraga pun kami nggak sempat, apalagi nonton film di XXI yang dulu jadi jadwal rutin kita setiap weekend. Nggak ada waktu. So little time, too much to do.

Setelah sekelumit gambaran tentang keluarga saya diatas, sekarang saya tanya, perlu alasan apa lagi untuk tidak membenci keadaan? Namun kami berusaha untuk tidak melihat semuanya dengan sisi negatif. Every cloud has a silver lining. Kami mencoba bersyukur atas hal-hal kecil yang kita punyai. Saat orang lain mengeluh kenapa anaknya bergerak terlalu aktif, kami sangat bersyukur saat Aubrey mulai mau menggerakkan jemari-jemari kecilnya melawan keterlambatan motorik yang diidapnya. Setiap gerakan Aubrey, bagi saya, adalah gerak Saraswati saat membuat Buku Pengetahuan: graceful, beautiful. Saat orang lain mengeluh atas berat badan anaknya yang tidak naik secara signifikan, kami bersyukur atas setiap ons kenaikan berat badan Aubrey. Saat orang lain mengeluh anaknya susah tidur, kami dengan riang membacakan Aubrey cerita dongeng untuk melatih pendengarannya, dan kami bersyukur akan hal itu. Saat orang lain mengeluh PRT-nya tidak becus mengurusi anaknya, kami lagi-lagi bersyukur telah diberi kesempatan untuk merawat Aubrey langsung tanpa campur tangan orang lain.

Secara tidak langsung, rasa bersyukur itu memberikan kami celah untuk bahagia. Aubrey membawa kebahagiaan dan berkah. Tidak hanya kami, orang-orang di sekitar juga ikut bahagia. Ayah Ibu saya, Kakak, Adik, saudara-saudara, semua tergugah dengan adanya Aubrey diantara mereka. Bahkan, orang-orang yang tidak suka dengan saya bisa jadi juga merasakan kebahagiaan atas kehadiran Aubrey di dunia ini. Dulu, sebelum Aubrey lahir, ada orang-orang yang kurang suka dengan saya dan istri. Mereka mendoakan kalau besok Aubrey akan terlahir cacat. Dan benar, harapan mereka terwujud. Mungkin mereka bahagia dengan terwujudnya sumpah serapah mereka atas keadaan Aubrey yang serba terbatas. Apapun kondisinya, jika ditilik dengan positif, semuanya menjadi berkah, baik dari diri sendiri, maupun untuk orang lain... :)

...

Saat itu Bu B sudah dengan antusias menanti jawaban saya atas pertanyaan konyol doi. Saya tersenyum, mengambil sebatang rokok, memantik korek api, menyalakannya, dan menjawab, "Kayaknya Bu B sudah tahu jawabannya kan kalau Bu B melihat bagaimana saya dan istri memperlakukan Aubrey?"

Bu B lalu senyum kecut, salah tingkah, sepertinya sudah sadar kalau doi sudah melemparkan pertanyaan bodoh... "Nggak malu ya, Mas?"

"Nggak, Bu. Nggak pernah malu."

Salam.


Hello there!

5 comments:

  1. 1) Online dan panopticon harusnya italic, yah. Hehehe.
    2) Jadi maksudnya, kita juga membahagiakan si jahat yg mendoakan keblangsakan kita nih? Umm, okay :D
    3) Kayaknya kamu ada bakat tulis cerpen. Cobain deh.
    4) If you want someone (read: your wife) to give you criticism, then give her in return!
    5) Sekarang udah nggak sedih dan nangis lagi toh? Semoga udah. Aku malah nggak tau kamu sering nangisin Ubii jaman dulu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. 1. iya. maklum ngantuk hihi..
      2. ya semacam itulah mi.
      3. really? how do you know?
      4. okay. i will give you scrum-kind of review as you write your next blog entry.
      5. indeed. i just don't want you to worry hon.

      Delete
  2. Kyaaa ubii dijolimiiin
    Pipinya bisa mleyot ituuu

    ReplyDelete
  3. nicepost!!aku menunggu atau mungkin akan gabung kalau ada torch peer group di jogja yang sepertinya ingin dibuat gracie ya? aku akan ikut sebarluaskan, tahun 2010 aku membuat seri diskusi tentang torch, lebih seperti sharing forum dan ternyata banyak sekali teman 'sepermainanku' (beberapa dari mereka bekerja untuk isu kesehatan reproduksi) punya pengalaman tentang torch dan rasanya sangat menyenangkan, punya teman untuk berbagi banyak hal. salam kenal untuk aubrey dan gracie ya :D

    ReplyDelete